Lupakan dan Pergi Jauh

15 3 0
                                    

 "Edisi terbatas."

Pria itu—aku lupa siapa namanya—duduk di sebelahku seraya memamerkan jam tangan model antik dengan mekanisme yang tampak rumit di dalam kotak kristal.

"Aku mendapatkan ini dari pelelangan, sewaktu liburan ke Paris. Entah benar atau nggak, tapi katanya pernah dipakai oleh keluarga kerajaan."

Itu asli. Aku terkagum pada desain jam antik itu. "Aku sudah berencana membelinya. Tapi, aku gagal pergi ke Paris karena pasporku ditahan Papa."

"Aku tahu. Karena itulah aku membelinya. Khusus buat kamu," ujarnya dengan seulas senyuman yang manis.

"Beneran?" Aku yakin mataku sedang ikut tersenyum seperti bulan sabit sekarang. Aku menerima jam tangan itu, mengenakannya dan memamerkannya di pergelangan tanganku. "Wah, cantik banget di tanganku, 'kan?"

"Ya. Cantik sekali," jawabnya. "Harganya juga sangat mahal."

"Aku tahu." Dia tidak perlu pamer soal harga yang sudah kuketahui.

"Oh, iya. Bagaimana kalau sekarang kamu nemenin aku ke pesta ulang tahun rekan bisnis papaku?" ujarnya lagi seraya merangkul bahuku. "Aku gak ingin ke sana, tapi harus. Dan, aku kesal sekali setiap mereka nanya di mana calon istriku dan kapan aku akan menikah. Karena itu, jadilah calon istriku untuk hari ini. Oke?"

Jam mahal dan sebuah maksud. Tentu saja. Aku tersenyum lebar. "Oke!" Tidak masalah. "Let's go!"

Ya. Bersenang-senang, itu adalah bakatku.

Aku. Seorang putri tunggal dari keluarga kaya. Memiliki selera fashion yang bagus dan tahu caranya menikmati waktu. Menarik, manis, cantik, seksi dan cerdas—sebenarnya itu yang dikatakan kebanyakan orang tentangku dan aku tahu bagaimana untuk tampak seperti itu.

Kepribadianku, penampilanku, atau kekayaan keluargaku. Salah satunya adalah alasan para pria—seperti Pria Jam itu—mengantri untuk mengenalku. Tanpa kuminta, mereka memberikan barang-barang yang ingin kubeli, sekadar untuk mengajakku makan malam, jalan-jalan ke tempat-tempat favorit mereka, menonton konser musik, atau untuk menjadi calon istri mereka dalam hitungan hari. Tidak ingin melihat mereka kecewa, aku menerima apa yang mereka berikan dan menjadi teman yang mereka inginkan. Dan menerima beberapa di antara mereka yang menginginkanku untuk menjadi teman dekat, kekasih, pacar, semacam itu. Kemudian mencampakkan mereka saat mereka mulai mengesalkan, atau dicampakkan lebih dulu oleh mereka saat mereka merasa aku terlalu mengerikan.

Kisah cintaku dengan beberapa pria, tidak ada yang istimewa. Seperti kisah-kisah cinta pada umumnya, bertemu dan saling mengenal. Setelah mengenal, pada akhirnya ternyata hubungan seorang lelaki dan seorang perempuan hanyalah masalah hormon dan selera. Bertahan satu bulan, satu minggu, atau satu hari, hanya masalah rasa yang berbeda dan segalanya akan menghilang.

Aku menyadari, hubungan percintaan atau pertemanan, semuanya sama. Melibatkan orang-orang yang akan selalu datang dan pergi. Banyak hubungan terjadi hanya karena simbiosis mutualisme, mereka memberikan sesuatu padamu karena kau bisa memberikan sesuatu kepada mereka. Atau, mereka mencintaimu hanya karena kau mencintai mereka.

Aku tidak pernah menanggapi segalanya dengan serius. Kuhabiskan waktu bersama mereka, hanya bermain-main. Jadi, aku tidak pernah menganggap segala yang terjadi sebagai masalah pribadi.

Dulu. Itu dulu sekali.

Sebelum aku menjadi seperti sekarang, seperti itulah aku. Bersenang-senang setiap hari tanpa memedulikan segalanya. Tapi, sekarang tidak lagi.

Setelah aku kehilangan Papa dan perusahaan kami terpuruk, aku pun kehilangan selera untuk bermain-main dengan para pria tidak berguna. Aku juga mulai peduli pada sesuatu.

Game OverWhere stories live. Discover now