- Sebelas -

2.6K 298 2
                                    

- Happy reading -

Hinata ... Hinata ... Hinata ..

Suara lirih yang memanggilnya di kegelapan yang terasa asing baginya.
Dalam kegelapan itu pula, Hinata melihat seorang perempuan yang terlihat sedikit mirip dengannya, dengan rambut putih panjangnya, wajah lembut dan bibir dengan lipstik merahnya.

Hinata sendiri hanya berdiri disana, mengamati perempuan yang kini menampilkan senyum hangatnya.
Tatapannya terasa mencurigakan, sedikit ketakutan itu berpadu dengan penasaran.
Hinata menyipit semakin tajam, bertanya-tanya dimana ia pernah bertemu dengan perempuan itu sebelumnya.

Titik ungu di pertengahan keningnya membuatnya teringat pada Sakura yang juga memiliki simbol yang sama, tapi dalam bentuk berbeda.

"Kemarilah putriku."

Rentangan tangan yang memintanya mendekat, lengan kimono hime warna putih yang lebar terlihat melambai-lambai tertiup angin.
Langkahnya kecil, tanpa sadar berjalan mendekatinya, Hinata tidak tau apa yang sedang terjadi, tapi ia penasaran pada sosoknya.
Siapa ?

"Mendekatlah pada ibu, putriku."

Dengan pikiran kosong, Hinata berjalan mendekat pada sosoknya yang masih begitu sabar menanti dengan senyumnya yang menyiratkan kerinduan mendalam.
Perasaan campur aduk itu menggetarkan hatinya, Hinata bahkan tidak menyadari saat setitik air mata yang jatuh dari matanya berubah menjadi batu kristal.

Dalam jarak yang hanya sejengkal, perempuan itu mengulurkan tangan dan menyentuh kepala Hinata, mengucapkan sebuah mantra dalam suara lirih.
Mata byakugannya bercahaya, begitupun dengan mata Hinata.
Seperti sebuah gelombang kejut yang dilayangkan padanya, Hinata menggigil dengan tubuh bergetar ketika merasakan sesuatu yang lain ada dalam dirinya.

Tanda wajik ungu yang ada dikening perempuan itu memudar, dimana Hinata merasakan perasaan begitu dingin dalam dirinya, secara perlahan  menghangat dan membuatnya merasa panas.
Dipertengahan keningnya, tercipta sebuah simbol wajik yang sebelumnya berada dikening perempuan itu.
Hinata merabanya, debaran dalam dadanya terasa menggila, untuk alasan yang tidak dia ketahui.

"Jadilah tameng untuk suamimu, putriku. Jadilah kuat untuk anakmu."

Kalimatnya terdengar begitu halus saat mengatakan itu pada Hinata.
Usapan tangan dikepalanya terasa hangat, senyum keibuan itu muncul dengan begitu jelas, menebarkan perasaan getir dalam dirinya.

"Dharma ibu untuk bumi telah usai. Berbahagialah, putriku. Ibu akan selalu mencintaimu."

Bisikan itu terasa begitu dalam, Hinata menitikkan air matanya, menyadari bahwa sosok perempuan yang menyebut dirinya sebagai ibu itu perlahan mulai memudar, dengan senyum lembut yang masih bertahan dibibirnya.

Hinata dibawa dalam kegelapan, terhempas ditempat dan dimensi yang terasa berbeda.
Kegelapan itu menelannya, menghilangkan tubuhnya ke tempat terdalam.
Terpental begitu jauh, tanpa suara, hanya hening semata.

...

Hinata membuka matanya dengan spontan, tubuhnya bergerak bangkit terlalu cepat, hingga membuat lehernya terasa sakit.
Hinata mengusap perutnya, menenangkan bayinya yang gelisah.
Napasnya masih ngos-ngosan, dengan peluh yang membasahi wajahnya.

Mengambil air minum disamping ranjangnya, menegaknya hingga tandas.
Ingatan tentang wajah dalam mimpinya tidak bisa diabaikan begitu saja, menarik rasa penasaran pada sosoknya, tapi terasa tidak asing.
Dimana Hinata pernah bertemu dengannya ?

Membaringkan tubuhnya dengan perlahan, mengamati setiap jengkal ruang kamarnya yang tidak pernah berubah sejak dulu.
Kembali bangun, berdiri sambil membuka jendela, mengamati pohon besar yang ada disamping kamarnya.
Tersenyum saat ingatannya melayang pada sosok Sasuke yang sering menggunakan pohon itu sebagai kursi dan berbincang dengannya, saat masih muda dulu.

Some DayWhere stories live. Discover now