Bab II

1.4K 51 0
                                    

Aku tidak tahu harus bagaimana. Kakiku terus saja membawaku untuk berlari. Dengan degup jantungku yang berpacu cepat.

"MISI! MISI! MISI!" Teriakku kepada setiap orang yang menghalangi langkahku.

Takku pedulikan tatapan dan omongan beberapa orang yang tak sengaja ku tabrak.

Mereka tidak tahu mengapa dan kenapa dengan diriku saat ini. Aku ingin segera sampai dikelas dan duduk dibangku.

Aku ingin menenangkan perasaanku. Perasaanku yang semakin bergejolak dengan rasa yang tak menentu. Kenyataan yang baru saja aku dapatkan benar-benar membuat hatiku tak mampu lagi berkata.

Sungguh, kenyataan yang hanya sebuah pengakuan itu mampu membuangku jauh. Bukan lagi aku yang masih bisa berharap, tapi karena harapan itu yang terpatahkan dengan satu kata.

Kejujuran.

Flashback

"Ra, gimana menurut lo Vera?" tanya kay sambil terus terfokus membawa mobilnya yang aku tumpangin setiap pagi ini.

"Kenapa?" Jawabku.

Aku memalingkan wajahku ke jendela. Sudah kutebak pasti tentang itu lagi. Tentang perasaan dia kepada orang lain lagi. Tak pernahkah dia lihat aku disini?

" Gue kayanya suka deh sama dia. Setiap gue ngeliat dia entah kenapa gue itu selalu deg-degan. Pokoknya dia beda banget ra dari yang lain. Apalagi sifatnya ra, ya ampun ramah banget. ..." Kay terus saja berceloteh tentang wanita yang bernama Vera itu. Vera-teman sekelasnya.

"Ya terus?" Jawabku sambil berusaha menormalkan suaraku yang sedikit bergetar.

"Kayanya gue jatuh cinta sama dia" Ucapnya sambil tersenyum

Jantungku mencelos, ini memang hal yang akan aku terima. Sesak? Tapi aku hanya tersenyum menutupi suasananya.

Off flashback

Aku mencoba menenangkan jantungku yang masih saja berdetak tak menentu. Kini, aku berada pada bangku yang selalu aku tempatin, lebih tepatnya di dekat jendela. Ya, karena aku menyukai dengan pemandangan di luar sana. Hanya saja, saat ini pandanganku mengabur dengan air mataku yang sepertinya akan siap turun.

Aku hanya bisa tersenyum miris dengan kenyataan yang aku dapatkan. Kalian bisa menebak? Jika tidak, maka aku katakan bahwa aku cemburu.

Tidak, bahkan ini lebih dari cemburu. Aku merasa hatiku hancur lebih dari apapun dengan penyataan yang keluar dari bibir Kay.

Ya, harus aku akui, aku memang mencintainya. Bahkan aku sudah jatuh cinta sejak kita berdua beranjak ke sekolah menengah pertama. Aku kira ini hanya cinta monyet yang akan hilang secepatnya.

Tapi, tidak, rasa ini malah lebih menguat dari yang aku kira. Aku sudah mencintainya, 7 tahun lamanya jika aku menghitung sejak aku menyadarinya.

Aku mengigit bibir bawah karena mataku terus saja ingin menangis.

Please, jangan sekarang¸batinku.

"Lo kenapa Ra? Tadi gue liat lo lari-lari."

Aku menoleh menuju suara tersebut. Ternyata Riani sudah berada di sebelahku. Kami berdua memang duduk sebangku. Dan Riani, jugalah sahabatku sejak aku berada di SMA tentunya selain dengan dia.

"Gapapa," jawabku.

Aku hanya tidak mau Riani mengetahui apa yang saat ini terjadi denganku. Biarkan saja hanya aku dan hatiku yang mengetahuinya.

"Eh ra, tadi gue denger kita hari ini free," ujar Riani.

Aku hanya tersenyum. Syukurlah, lagian aku juga ga mood untuk belajar. Tapi, mata Riani terus mengarah ke arahku. Ada apa denganku? Apa aku...

(Not) FriendzoneWhere stories live. Discover now