Bab XV - Berakhir di sini?

745 31 0
                                    

Tak terasa, sudah waktunya aku pergi meninggalkan Negara tercinta ini. Jam di dindingku menunjukkan pukul 7 Malam, dan sudah saatnya aku berangkat. Karena pesawatku akan take off jam 12 malam. Dan kini aku biarkan tubuhku merasakan kenyamanan terakhir kali nya pada kasur yang menemaniku semenjak kecil.

Bayangan hari-hari ku di sini, berputar seperti melodi. Canda, tawa, kesedihan, semua nya bercampur menjadi satu. Aku yakinkan akan merindukan semua di sini. Apalagi saat di sana aku hanya bersama Renan.

Fyi, Renan sudah kembali 2 hari yang lalu dengan tingkah konyolnya. Dan tentu dengan wajah mengenaskan karena harus berkerja HAHAHA.

Tok, tok, tok

Aku menengok ke arah pintu yang terketuk. Dan membuka kunci yang sengaja ku gunakan dan melihat Raise ada di depanku sambil membawa pinguinnya. Mungkin bagi orang yang belum kenal Raise, akan bilang dia ini anak SMP lihat saja tubuh mungilnya.

"Mba aku mau masuk boleh?" Tanyanya. Aku hanya mengangguk dan menggeserkan tubuhku yang ada di tengah pintu.

"Hei, kamu mau tidur? Kita udah mau berangkat Raise." Jelasku saat ku lihat Raise memeluk gulingku.

Raise hanya menatapku. Tapi aku tahu tatapan Raise itu bermakna ada 'sesuatu'.

"Aku boleh masuk?" Tanyanya. Tapi sebelum aku menjawab, dia sudah membuka lebar pintu kamaarku. Dan memilih untuk menuju kasurku.

Aku pun mengunci pintu dan berjalan ke arah kamar. Di atas kasurku sudah ada Raise yang tiduran berserta dengan pinguin kecilnya.

"Kamu kenapa?" Tanyaku. "Kita sudha mau berangkat loh."

"Mba.." Raise menatapku serius. Aku pun mencoba melihat matanya. Semakin terasa bahwa ada sesuatu penting yang mengganjal.

"Yah?" Tak ada kata yang keluar dari mulutku. Terkecuali hanya "ya."

"Kenapa ka Renan jahat? Kenapa dia selalu suka berkelana? Apa dia ga sayang sama Raise? Apa Raise harus selalu sama Raiq? Aku juga mau kaya dia, aku mau bebas. Aku mau bisa berkelana."

Deg.

Ucapannya membuat hati kecilku bersalah. Renan oh renan, selalu melkukan sesuatu tanpa memikirkan semuanya. Aku pun menedekati Raise dan memeluknya.

"Kamu harus tahu, bahwa sebenarnya Renan sayang banget sama kamu, adiknya. Renan pergi-pergi karena jiwa petualang dia selalu ada. Tapi percaya sama mba, dia akan kembali lagi ke rumah. Tentu, nanti setelah dia sukses. Dan terlalu lelah dengan dunia."

Suasana pun menjadi sepi. Raise tidak membalas ucapanku, dan terdiam dalam pelukanku.

Tiba-tiba terdengar teriakkan dari bawah. Dan sudah kuyakini itu suara Ka Ori yang mengingatkanku sudah waktu nya berangkat.

"Raise? Yuk turun. Udah waktunya mba pergi," kataku. Raise pun melepaskan pelukannya dan mengangguk. Berjalan duluan ke bawah.

Sekali lagi aku menatap sekeliling kamar ini dan semua kenangannya. Terima kasih.

Saat tiba di bawah tangga, aku melihat kay ada di ujung ruangan. Mata nya terlihat sedih. Hati sedikit mencelos melihatnya, karena aku tak pernah beritahu dia mengenai hal ini. Hanya saja mungkin dia sudah mengetahui dari kakakku.

"Mba, aku duluan ke depan yah," ucap Raise. Dan pergi meninggalkanku.

Aku tersenyum dan berjalan ke arah Kay.

"Kay?" Panggilku.

Tidak ada sahutan, tapi rengkuhan hangat itu sudah menyelimuti tubuhku. Kay memelukku yang hanya bisa ku lakukan adalah mengusap punggungnya.

"Maafin gue.." ucap Kay.

"Iya Kay, iya. Lo ga salah apa-apa kok sama gue. Udah jangan sedih. Relain gue pergi ya."

"Kenapa lo ga kasih tahu gue Ra? Kenapa gue harus tahu bukan dari lo? Kenapa lo ninggalin gue Ra?" Cecarnya dalam pelukanku.

"Sst, gue tahu kalau gue kasih tahu lo. Pasti lo bakal nyusul gue. Udah jangan dipikirin, gue tetep sahabat lo. Gue pergi sebentar saja Kay. Buat nyembuhin semuanya. Termasuk luka hati gue atas kehilangan lo dari genggaman."

Tak bisa ku tahan, air mata ku pun mengalir. Rasanya seperti ada pisau yang menusuk kembali hati yang masih berdarah. Kenyataan yang sudah aku terima buatku harus menelan pahit nya sebuah fakta.

Aku telah milih untuk pergi dengan luka yang tergores, dari pada tetap tapi menjadi sebuah bayangan.

"Jadi lo harus baik-baik disini. Jangan kecewain orang yang lo perjuangin. Lo harus lulus, lo harus kejar cita-cita lo. Karena gue tahu, lo adalah Kay gue. Kay yang bisa lakukan segalanya dan Kay yang selalu ada."

Setelah menitipkan pesan itu aku pun melepaskan pelukannya. Mengusap pipi nya untuk terakhir kali, mengenang betapa menonjolnya tulang pipinya. Hidungnya, dan menatap mata nya dalam. Mata biru yang terlalu aku sukai, hingga aku terhipnotis.

"Selamat tinggal Kay," ucapku. Sedikit berjinjit dan aku pilih untuk kecup pipi nya dalam.

"Selamat tinggal Araku. Gue akan tunggu lo balik sampai kapanpun. Karena lo tetap Ara gue, meski gue tahu penyebab lo terluka adalah gue." Kata Kay, dan mengecup keningku begitu hangat.

Kita berdua menangis dalam diam. Kita adalah sepasang sahabat yang harus terjebak dalam masalah rumit. Tapi tidak ada yang mengerti kemanakah hati akan berlari.

Maka aku akan berlari untuk menyembuhkan lukaku. Dan biarkan dia berlari untuk menjadi seorang pasangan yang terbaik untuk Vera, kekasihnya.

"Jangan sampai lupa buat kabarin gue yaa ra!" Pintanya.

Aku mengangguk, dan berjalan ke depan. Dengan genggaman Kay yang hangat. Salingg berpamitan dengan semua yang mengantarkanku hingga di Gerbang. Termasuk dengan Ibu Kay yang juga dekat dengan diriku.

Sampai tiba waktunya aku harus melepaskan Kay. Untung nya Renan dengan singgap merangkulku, dan membawaku ke mobil di mana keluargaku sudah bersiap-siap.

Selamat tinggal semua. Selamat tinggal kenangan. Selamat tinggal Kay. Selalu harus kamu tahu aku akan mencintaimu dengan diam. Tidak pernah terjanjikan untuk melupakan kamu, hanya aku harus pergi untuk menyembuhkan luka yang dalam tanpa ku tahu kapan semuanya akan sembuh.

Karena cinta bukanlah suatu keterpaksaan yang harus dimiliki dua insan. Cinta adalah sebuah ketulusan di mana rasa saling memiliki berada. Bukan hanya satu sisi, sehingga sebuah luka dan rasa kehilangan harus menjadi sesuatu yang diterima. Seperti aku, yang memilih pergi dengan terluka dibanding harus bertahan untuk menjadi semakin terluka.

Love you and good bye, Kayro Aldralic Fralicko.

-END

(Not) FriendzoneWhere stories live. Discover now