Bab VII

640 32 2
                                    

Sudah lewat beberapa bulan, ah tidak, tepatnya sudah hampir menjelang setahun kejadian itu berlalu. Dan kalian tahu? Aku berhasil menutupi keadaanku, dengan semua yang palsu.

Poor ara.

Aku mengejek diriku sendiri. Aku tertawa dalam hatiku, terkait kondisiku yang mengenaskan walau hanya diriku yang tahu. Saat ini aku sedang berada di depan mading, mataku bergerak mencari namaku. Dan saat aku menemukannya,

"YAYYYY YAYAYALALALALAL!!".

Aku berloncat gembira, Riani yang berada disampingku ikut merasakana euforia kebahagiaanku. Aku mendapat nilai terbaik, dan namaku terpampang menjadi nomor satu.

"SELAMAT RA! GILA!! GILA!! LO HAMPIR PERFECT!" Teriakkan Riani membuatku tersenyum lebar.

Rasanya perjuanganku tidak sia-sia, apalagi dengan nilai memuaskan seperti ini. Tinggal selangkah lagi, aku menjalankannya dan berharap semuanya menjadi kenyataan.

"Thanks Ri. Nilai lo juga kereennn!" Sanjungku dan memeluk Riani.

Ah, pasti nanti kangen, batinku.

"Lo bisa ra! Lo pasti bisa! Gue yakin," ucapnya. Aku mengusap punggung Riani. Dia memang sudah tahu apa yang aku rencanakan, hanya Riani saat ini yang bisa aku percaya.

"Gue tetap sama lo ri. Tenang aja, bahkan halangan sebesar apapun lo tetap jadi sahabat gue," aku menghela nafas begitu merasakan pundakku menghangat. Aku tahu, pasti Riani berat dengan ini, tapi inilah yang terbaik.

Aku melepaskan pelukannya, dan mengusap air mata Riani, tersenyum menguatkan dia. Bahwa, persahabatan tidak akan pudar karena apapun.

"Gue balik ya?" Tanyaku.

Riani mengangguk, "Sono lo balik! Gue juga mau balik, mau ngabarin bonyok gue sama kakak gue."

Aku tersenyum, dan berjalan menjauh sembari melambaikan tanganku. Hatiku membuncah, perasaan bangga, sedih, duka menjadi satu. Hanya Riani, yang mengerti bagaimana keadaanku sesudahnya. Dan, ya, dengan berat hati aku memilih pada satu keinginan.

"Ra!" Panggilan seseorang membyatku menoleh, di ujung lorong aku lihat Mozi yang menghampiriku.

"Selamat ya, gue seneng lo bisa jadi nomor satu," ucapnya dan mejabat tanganku "Lo harus bahagia."

Perkataan yang terakhir membuat air mataku tiba-tiba ingin menetes, Mozi memelukku. Walau, aku dan Mozi jarang bersama. Tapi, dia sama halnya seperti Riani buatku. Dengan Mozi, aku bisa tertawa sedikit.

"Jangan buat lo nangisin hal yang ga pernah tangisin diri lo." Katanya.

Aku mengangguk, dan melepaskan pelukannya. Pipiku sedikit memerah, baru pertama kali aku dipeluk oleh Mozi.

"Cie blush," ledeknya. Aku melotot garang.

"Yaudah, gue balik ya! Semoga kita ketemu lagi nantinya, sering kontak gue ya!" Teriakku dan berjalan menjauh kembali.

Bahagia, ketika kalian masih memiliki orang lain yang peduli. Ya sama seperti aku, bahagia sangat ketika banyak yang mengerti apa yang aku mau. Senyumku terus mengembang, ah rasanya bahagia sekaligus menyakitkan!

Ketika hampir tiba di gerbang depan, aku memilih duduk di bangku, di bawah piala-piala yang berjejer. Aku mengambil benda pipih dari tasku, dan membuka slide unlock. Aku mencari nama "Ori".

"Halo?" Sahut seberang sana.

"Assalamualaikum. Lo di mana kak? Gue udah selesai urusan sekolah nih! Dan lo harus tahuu gue..."

(Not) FriendzoneWhere stories live. Discover now