3. Hi luka, aku kembali.

6.9K 236 2
                                    

Ara, Renan, Ori, Raiq dan Raise menikmati malam mereka dengan segelas coklat panas dan api unggun yang sengaja mereka pasang. Tubuh mereka terlihat terlilit dengan selimut masing-masing. Setelah acara bersama "mencebur" ke kolam renang, mereka pun membersihkan diri.

Ara melirik ke arah handphone nya yang tergeletak, sudah pukul 11 malam. Rumahnya pun sudah sepi. Rumahnya yang terasa bukan seperti rumah 5 tahun nya kemarin.

"Krik,krik,krik, diem-dieman lo semua. Pada kecepirit?" Suara Renan yang tidak berdosa membuat semuanya melotot.

"Pala lo kecepirit," tukas Raiq dan melemparkan kacang yang ada di depannya.

"Woi, santai dude." Balas Renan dan melemparkan kembali kacang yang tadi terlempar.

Tak!

"Berisik lo pada. Ga lihat ini lagi pada hikmat nikmati cokelat," sergah Ara.

"Kampret, berani banget lo Ra ngelempar gue pakai sandal." Kata Raiq.

"Bodo wek," balas Ara dan meleletkan lidahnya.

Renan dan Raiq saling menatap. Sementara Ori dan Raise hanya tersenyum. Mereka tahu apa yang akan terjadi.

Renan pun mendekati Ara dan mulai menggelitiki. Sementara Raiq memegang kaki Ara dan menggelitiki pada telapak.

"AHAHAHAHAHHA AMPUNNNN AAAAAHH AMPUNNN RAIQ RENAN LEPAS BEGO HAHAHAHAHAHA STOP!!"

Ara berteriak-teriak sementara Ori dan Raise bersorak meramaikan.

"AMPUNNNN AMPUNNN PISSS AMPUUNNNN GEBLEK."

Setelah berampun-ampunan minta dihentikan, Renan dan Raiq stop dan duduk mengaso.

"Gila badan lo kek badak, sakit banget kena gerakan lo." Ujar Raiq.

"Eh kampret, mana ada badan badak. Ini aja keren begini, lu aja lemah letoy." Balas Ara.

"Udah dih kalian, ga kasian apa sama mba Ara?" Ujar Raise dan mendekati Ara. Raise membantu Ara bangkit dari rumputnya,

"Mba gapapa?" Tanya Raise. Ara pun tersenyum dan memeluk Raise. Menyandarkan kepalanya pada bahu Raise yang kini terduduk disampingkan, serta mengeratkan selimut.

"Lo kedinginan? Apa kecapekan?" Tanya Ori.

"Anjir kakak bego, periksa lah. Lu kan dokter," ujar Renan.

"Yee, ga usah ngatain gue bego juga kali nan." Tukas Ori.

"Ribet lu semua, gue gapapa. Cuman lagi butuh sandaran." ucapan Ara membuat semua nya terdiam. Dan setelah itu tidak ada lagi suara berisik, hanya suara angin semerdu yang menjadi pengiring mereka di malam itu.

*

Ara menggeliat, tubuhkan serasa letih tapi mata nya terasa dipaksa untuk terbuka dengan sinar matahari yang begitu menusuk.

"Ughh.. Morninggg puh," sapa Ara dengan semakin mengeratkan pelukan dengan boneka kesayangan itu. Tidak ada lintasan pikiran dalam kepalanya dan bertanya mengapa ia bisa berada di kamar sementara semalam dia masih ada di taman dan bersandar dengan Raise.

"Morning anak Bunda. Ayo bangun, ikut kakak ke rumah sakit gih!" Suara sang Bunda membuat Ara berhasil melek sempurna, di lihatnya sang Bunda yang menyibak gorden kamar dan membuka jendela.

"Ara capek Bun, mau di rumah aja." balas Ara.

"Ayo bangun, yang lain sudah pada tunggu di meja makan sarapan. Nanti habis itu kamu siap-siap ikut Ori ke rumah sakit aja. Sekalian kan, udah lama kamu ga pergi jalan di sini." Jelas bundanya.

Ara hanya tersenyum tipis mendengar bundanya menjelaskan dengan panjang lebar. Bunda yang selalu menjadi sandaran Ara, dan bunda nya yang tidak pernah membuat dirinya merasa kecewa ataupun perasaan sedih lainnya sedikit pun. Dia pun memilih bangkit dan memeluk tubuh Bunda nya yang sudah semakin menjadi tua.

"Ara kangen Bunda," ujarnya dan mengencangkan pelukannya pada sang Bunda.

"Bunda juga kangen sama Ara. Banyak hal yang terjadi selama Ara di sana. Termasuk alasan Ara untuk pergi sebenarnya yang buat Bunda percaya. Bahwa anak bunda saat ini sudah mulai belajar untuk ikhlas sepenuhnya."

Tubuh Ara menjadi kaku seketika. Otaknya tidak bias mencerna bagaimana sang Bunda bias mengetahui apa sebenarnya makna kepergiannya selama 5 tahun terakhir di Negeri orang.

"Bunda sama Ayah tidak apa-apa. Bunda mengerti, ini sulit untuk Ara. Dan Bunda paham semua akan ada baiknya. Meski hati kamu masih marah dan menolak semua kenyataan ini." Bunda pun memeluk Ara kembali, dan mengusap lembut rambut putrinya.

Putri nya yang terluka dengan sahabatnya. Putri nya yang akhirnya bisa kembali setelah 5 tahun berada di Negeri orang.

"Selamat datang kembali Putriku, Bunda harap kamu tidak akan pernah pergi lagi. Karena luka itu ada untuk dihadapi meski pun harus menangis. Bukan untuk berlari, dan mencoba mengalihkan. Karena sejatinya luka tetap aka nada meski kita pun berlari jauh ke Bulan."

Bunda pun melepaskan pelukannya, dan mencium kening Putrinya. Dia tahu saat ini putrinya sedang mencerna makan ucapan yang baru saja ia jelaskan. Tidak apa. Putrinya masih kecil. Dan masih rentan dengan luka yang masih tertoreh di hatinya. Sementara Ara masih terpaku di depan jendela. Tidak mengerti harus menanggapi seperti apa.

Kaki mungil Ara pun berbalik menuju kamar mandi. Benar kata bundanya luka itu harus dihadapi. Karena sejauh apapun dia berlari tetap saja itu akan menimbulkan luka. Kalau dia tidak berusaha untuk mengatasi nya. Ara pun tersenyum di depan kaca wastafel. Dengan hati dan logika bergumul, sebuah kalimat pun terucap dari bibirnya. Dan dengan saat itu dia akan mencoba menerima semua yang akan terjadi di depannya.

"Hi luka, aku kembali."

Unless YouWhere stories live. Discover now