10. DIBALIK SEBUAH PERMINTAAN

5K 206 1
                                    

           

Matahari dengan malu-malu muncul dari balik jendela. Membuat Ara merasakan cahaya yang begitu menusuk ke dalam matanya.

"Duh." Keluh Ara yang merasakan kepalanya seperti tertusuk. Di mana dia? Perasaan seingatnya kemarin ia ada di ruangan Angga dan terbentur meja.

Ah ya, benar dia terbentur dengan meja. Tapi kok matahari muncul? Sudah berapa lama dia ga sadarkan diri?

"Morning anak Bunda." Ara menengok ke arah Bundanya yang muncul dari pintu. Dia mencoba memaksakan tersenyum, meski kepalanya terasa berdenyut.

"Sakit banget ya? Kamu si petakilan jadi anak. Kita ke dokter aja ya."

Ara menggeleng. Ga mau dia ke rumah sakit. Tidak terlalu berminat untuk minum obat dengan bentuk besar itu.

"Onty." Renan muncul begitu saja tanpa diundang. Kok dia bisa ada di rumah?

"Loh kamu udah datang nan? Bukannya katanya siang?"

"Iya onty, ga bisa tidur juga. Jadi aku ke sini aja. Lo kenapa ra?"

"Ini loh kemarin sore. Bos nya nganterin dia pulang. Katanya Ara jatoh di kantor."

"Loh nty, kenapa ga suruh Ori aja check si Ara? harusnya dia tahulah meski ga begitu paham."

"Ga usah lah nan, Bun. Lagian bentar lagi juga sembuh. Cuman sakit biasa aja," Bantah Ara dan mencoba untuk turun dari kasurnya. Tapi kakinya entahn kenapa begitu kaku dan lemas. Hampir saja ia jatuh.

"Ara!" teriak Bunda. Untung saja Renan cepat tanggap dan menahan pinggang Ara.

"Kamu ini nakal banget sih!"

"Lo ini ya ra nakal banget!"

Ara tidak ada kekuatan untuk membalas ucapan Bunda dan Renan. Ia pun memilih untuk menurut dan bersadar pada kepala ranjang. Tidak ketinggalan puh miliknya.

"Emang ya gue punya adik bandel banget. Sini lo gue check bentar."

Suara Ori tiba-tiba hadir. Ara mencoba menengok dan melihat kakaknya itu sudah membawa tas. Yang sepertinya berisi peralatan yang biasanya dokter miliki.

"Ri check adik kamu ini. Tadi Bunda mau bawa dia ke dokter. Tapi ga mau."

"Bunda, Ori kan dokter."

Bunda hanya tersenyum, "tadi bunda hampir lupa."

"Wah onty berarti udah mulai tua." Sela Renan.

"Oh jadi Onty udah tua ya? Iya deh onty tua. Tapi nanti onty ga mau masakkin buat Renan lagi."

"Hahahahaha." Ara dan Ori tertawa bareng.

"Astaga onty gak gitu maksud Renan." Renan memelas kepada tantenya.

Ara tahu bahwa bundanya hanya bercanda.

"Biarin. Onty bilangin om nanti."

Ara dan Ori pun tersenyum dan sedikit tertawa dengan tingkah Renan yang begitu polos. Bundanya memilih keluar dari kamar diikuti dengan Renan yang masih memelas.

"Kamu kenapa bisa begini?" Tanya Ori dan berbalik bandan menutup pintu. Ia mengerti pasti Ara bukan hanya jatuh sembarang.

"Kemarin lari-larian di kantor sama ANgga. Terus Ara kesandung karpet, dan jidat ini nyium ujung nakas."

Ori menggeleng. Ia membantu memasangkan sekimut Ara kembali.

"Kalian berdua kaya anak kecil. Masa di kantor main lari-larian sih?"

Ori tadi sempat menyuntikkan obat ke lengan Ara. ia tahu, adiknya ini tidak terllau mau untuk minum obat yang berbagai ragam bentuknya.

"Jangan begitu lagi di kantor. Kalian itu rekan kerja."

Ara hanya mengangguk. Matanya sungguh berat seperti ada palu yang memukul dan menyuruhnya untuk terus menutup matanya.

"Tidur." Hanya kata terakhir dari Ori yang bisa Ara dengar. Selanjutnya ia tidak bisa mendengar apapun lagi.

Ori tersenyum melihat adiknya yang sduah tertidur. Dengan setia ia masih mengusap lembut kening adiknya. tidak tahu mengapa ia merasa aka nada sesuatu pada akhirnya antara Angga dan Ara.

Ia berharap itu bisa mengobati luka Ara setidaknya. Meski ia tidak bisa menebak bagaimana nanti semua akan disadari dan di mengerti.

**

Di tempat lain, Angga sesekali tersenyum memandang ruangan di depannya yang saat ini kosong. Sebulann sudah hari-harinya lebih berwarna dengan kehadiran perempuan yang menjadi asisten pribadinya.

Entah kenapa ia seperti tercandu dengan kehadiran Ara. khususnya saat Ara sedang mengajaknya ribut. Perempuan itu tidak seperti yang lain. Yang hanya menyukai shopping dan berbelanja hal-hal yang berurusan kdengan kecantikan. Meski Ara memakai rok saat berkerja, ia tahu bahwa Ara tidak nyaman.

Tok. Tok.

Pintu yang diketuk membuat Angga kemabli ke alam sadar.

"Permisi Pak."

"Ya Jingga. Ada apa?" Angga tiba-tiba membalikkan handphonenya.

"Ada pak—"

"hei brother! Sibuk banget ya lo."

Angga tersenyum dan bangkit dan menerima pelukan dari pria di depannya.

"Sibuk dari mana? Lusa kemarin gue baru ke rumah mamih kok. Lo aja yang sibuk ke luar kota."

"Ya lo tahu. Mana Ara?"

"Kemarin dia jatuh, kepentok. mungkin lagi istirahat."

"Kok bisa? Lo apain dia?"

"Lo kan tahu Ara. Dia kan anaknya asik dibuat lucu. Jadi gue hobi banget ngegodain dia."

"Lo suka sama Ara bro?"

Angga sedikit terkejut mendengar pertanyaan dari saudaranya ini.

"Lo ngomong apa sih? Ya kagaklah. Gue cuman anggap dia teman."

"Gue titip dia ya. tolong tepatin permintaan gue ini kak."

Angga hanya tersenyum. "kalau ujungnya gue suka sama Ara bagaimana?"

"Bukannya lebih baik? Tapi kalau lo sekali aja nyakitin dia terlalu dalam. Gue yang akan maju pertama untuk nonjok muka lo itu."

Angga hanya tertawa. Dia sendiri pun tidak tahu apsti bagaimana perasaannya saat ini. Di hati kecilnya, ada sedikit rasa ingin membantu Ara menyembuhkan luka. Taoi dia tidak tahu pasti, apakah itu bisa atau tidak.

"Gue balik duluan. Jangan lupa janji lo nanti buat bantu gue ya!"

Angga hanya tersenyum dan hanya tersenyum begitu adiknya menghilang di balik pintu.

**

6 bulan kemudian..

Hubungan Ara dengan Annga pun sampai saat ini baik. Tapi tidak dipungkiri, bahwa semakin lama mereka semakin depan. Ara hanya tersenyum, karena hatinya lebih banyak sedikit tersenyum dengan kehadian Angga. Dan Angga pun juga merasa seperti itu, baru kali ini ada yang bisa membuat perasaanya jungkir balik.

"Ra, jangan lupa besok kita piknik." Ucap Angga begitu mengantar Ara ke rumahnya.

"Oke kapten!" Ara tersenyum lebar dan membuat tangannya seperti tanda hormat.

Angga tersenyum dan mengacak rambut Ara yang secara tidak langsung membuat jantung Ara tidak sehat.

**

Keesokan hari nya, Angga menjemput Ara pagi-pagi dan mengajaknya ke sebuah pantai.

"yaayyyyyyyyyy!!" Ara berteriak kesenangan. Sudah lama dia tidak ke pantai.

"Ra tunggu di sana. Gue mau beli ice cream dulu."

"Oke." Ara pun berjalan ke pinggir pantai.

Tepukan halus di pundak Ara membuat menengok. Tubuhnya kaku mengetahui siapa yang ada di belakangnya.

"Hi Ara, long time no see."

Unless YouWhere stories live. Discover now