Chapter 8: Resolve

619 87 5
                                    

Kesadaranku kembali utuh di setengah jam yang lalu. Tepat berdiri di tengah jalan menuju ke kuil. Yuuko berada di sebelah kiriku, menatap penasaran tentang kebisuanku.

“Tatsumi, kau kenapa?”

Rasa penasarannya itu pun diluapkannya dengan sebuah pertanyaan. Tapi aku memutuskan untuk tidak menjawabnya, tepatnya tidak untuk sekarang.

Belajar dari dimensi waktu sebelumnya, aku perlu menenangkan diriku untuk memecahkan masalah ini. Ya, aku sendiri hampir lupa akan julukanku semasa SMA–buaya di air tenang.

Nama ini bukan sekedar julukan yang diberikan teman setim basketku, nama ini kudapatkan karena meraih banyak prestasi walau terlihat sebagai siswa paling tenang di sekolah. Tapi justru sebaliknya, karena aku tenanglah, aku bisa meraih semua prestasi itu. Ya, itulah satu-satunya keahlianku, bisa melakukan apapun jika aku tenang.

“Nee Tatsumi–”

Kuangkat tanganku ke depan wajahnya, menahannya untuk berbicara lebih panjang. Walaupun balasan darinya adalah wajah jengkel, tapi aku tetap akan mengabaikannya dulu untuk sementara.

Kutenangkan diriku, mengurung pikiranku dalam sebuah dunia sempit dimana aku bisa berpikir paling nyaman. Kukumpulkan semua ingatan dari ribuan pengulanganku, kususun dan kurunut setiap kejadian satu per satu. Dan kusimpulkan tiga poin besarnya.

Poin pertama, kejadian ini dipicu karena keberadaan Akane. Jika Akane tidak ada di jalan di depan yang akan kulalui ini, Yuuko tidak akan tertusuk ataupun aku tidak perlu mengubah rute perjalanan.

Poin kedua, mobil berwarna putih adalah eksekutor pengganti Akane di jalanan. Setiap kuubah jalur kami, entah kenapa mobil putih ini selalu ada dan selalu tanpa sengaja menabrak Yuuko dengan keras, peran mobil ini tidak kalah penting dalam kematian Yuuko.

Poin ketiga, memilih tempat sepi untuk sembunyi adalah tindakan yang percuma. Setiap kali kupilih tempat sepi untuk menghindari Akane ataupun mobil putih itu, selalu ada faktor ketiga berupa ketidaksengajaan yang menanti untuk membunuh Yuuko.

Ketiga poin ini bersumber pada hal yang sama. Yaitu keberadaan Akane di tempat itu. Jika Akane tidak ada di sana untuk mengancam keselamatan Yuuko, maka semua tragedi kematian hingga ribuan kali ini tidak perlu terjadi. Menghindarinya saja tidak akan cukup, karena itulah aku harus menghilangkannya. Tapi bagaimana caranya menghilangkan keberadaannya dari tempat itu?

Kusaring kembali ribuan memori itu dengan teliti. Memasukkan kembali poin yang kuanggap tidak penting dalam analisisku. Sebuah simulasi kecil kujalankan dalam otakku untuk memperoleh penyelesaian masalah ini. Dan akhirnya, kudapati bahwa reset button–kotak kecil yang dikirimkan ke apartemenku–itu adalah kunci dari penyelesaian masalah ini.

“Bingo.”

“Eh? Apa yang bingo?”

Yuuko tersentak kaget mendengarku bergumam sendiri.

Akhirnya kutemukan caranya. Ya, jawaban dari masalah ini sudah ada di tanganku. Pada akhirnya, semua tetap harus bergantung pada alat itu.

“Aaah! Sudah cukup! Berhenti mengabaikanku!”

Kini dia marah. Berkali-kali diguncangnya bahuku agar mau bicara dengannya.

“Baiklah... tunggu sebentar... kalau kau guncang seperti ini... aku tidak... bisa bicara... dengan... hmpph.”

Rasanya sesuatu yang hangat dan asam akan keluar dari mulutku, langsung saja kutahan mulutku agar tidak bocor dan tidak membuang makan siangku tadi. Melihat wajah mualku, Yuuko menghentikan gempa 0,01 skala richter-nya. Kemudian menunggu jawabanku dengan wajah kesal dan tangan berkacak di pinggangnya.

Reset ButtonWhere stories live. Discover now