Chapter 10: Resume

844 91 10
                                    

Tok tok!

“Masuk!”

Suara gadis di balik pintu mengizinkan. Kubuka pintu di depanku perlahan. Sebuah pintu dengan pelat nama Asahina di depannya.

Seorang gadis tengah duduk di kasurnya, dengan perban yang terlilit di kepalanya dan gipsum yang melapisi tangannya. Senyuman diberikannya padaku.

“Tatsumi.”

Ujarnya dengan hangat dan lembut.

“Aku datang berkunjung.”

Kutatap nanar dirinya yang sedang duduk menahan nyeri itu. Gadis bernama Yuuko Chiaki, yang namanya tertulis di bawah nama Asahina, adalah pacarku. Akibat kecelakaan malam tadi, dia perlu dirawat di sini untuk beberapa minggu ke depan.

Kupeluk tubuhnya yang rapuh itu dengan pelan dan lembut. Dapat kurasakan kini detak jantungnya menggebu.

“Tu-tunggu, apa yang kau lakukan?”

Tanyanya panik.

“Syukurlah kau selamat.”

Air mata mengalir pelan di pipiku. Sudah sekian lama aku menantikan momen seperti ini, melihatnya dapat tetap hidup. Penantianku yang sangat lama telah membuahkan hasil yang manis seperti ini. Bagiku, ini bagai mimpi yang menjadi nyata.

“Tatsumi kau baik-baik saja?”

“Ya, aku baik-baik saja. Tapi, biarkan aku seperti ini untuk sementara.”

Sebuah permintaan egois dariku yang diterimanya begitu saja. Kurasakan belaian halus di ubun-ubun kepalaku, perlahan membuatku tenang.

Kejadian malam tadi masih berbekas dalam ingatanku. Begitu mengetahui Yuuko tertabrak dan mengalami pendarahan pada kepalanya. Aku hanya bisa panik dan pada akhirnya tidak banyak berbuat apa-apa.

Beruntung seorang dokter datang membantu, namun ironisnya, dialah yang menabrak Yuuko dengan mobil putihnya. Setelah memberikan pertolongan pertama, Yuuko segera diangkut untuk pergi ke rumah sakit. Dan setelah dia dibawa itulah, aku tidak tau apa-apa lagi tentang Yuuko.

Baru saja pagi ini aku mengetahui kabar tentangnya yang baik-baik saja. Tanpa ada cacat fisik atau cacat mental yang dialaminya, semua normal. Hanya saja banyak luka yang dideritanya.

Kulepaskan pelukanku itu, dan sekali lagi menatap dirinya seutuhnya. Rambut coklatnya yang sering terikat ke belakang kini tergerai alami sepanjang bahunya. Bibir delimanya melengkung manis, menampakkan senyuman hangatnya yang biasa. Di tangan kirinya masih menempel sebuah saluran yang mengalirkan nutrisi cair bernama infus ke dalam pembuluh darahnya.

“Bagaimana perasaanmu?”

Tanyaku.

“Emm, sudah lebih baikan.”

Angguknya mengiyakan.

“Syukurlah kau selamat. Jika tidak, mungkin aku akan menjadi gila.”

Matanya menampakkan keprihatinannya padaku. Seakan dapat merasakan semua kesedihan yang kualami saat ini, dia memegang tanganku.

“Tak apa, aku bersamamu. Jadi jangan khawatir, yah?”

Akhirnya, semua usaha dan pengorbanan itu tidak akan menjadi sia-sia. Apa jadinya jika dia tidak juga terselamatkan? Mungkin aku sudah membunuh diriku sendiri.

“Kau tau.”

Ungkapnya memecahkan keheningan di antara kami.

“Malam tadi aku bermimpi hal yang sama dengan kejadian ini. Tapi dalam mimpiku itu, aku tidak terselamatkan dan membuat Tatsumi bersedih. Kulihat kau terus menerus mengulangi waktu yang sama untuk menyelamatkanku. Berkali-kali kau terluka, baik secara fisik maupun batin, tapi tetap saja aku tidak terselamatkan. Saat melihat itu, aku berpikir, apakah aku juga akan bernasib sama dengan mimpiku? Apakah Tatsumi akan terus bersedih seperti di mimpi itu? Pertanyaan itu terus menghantuiku semalaman. Tapi akhirnya aku bisa bangun, aku bisa kembali ke sisi Tatsumi. Sekarang aku justru bertanya-tanya yang mana yang sebenarnya mimpi yah?”

Reset ButtonWhere stories live. Discover now