Epilog

928 90 24
                                    

Kubuka tirai jendelaku, membiarkan cahaya mentari masuk ke dalam kamar gelap ini. Hari baru telah dimulai. Tidak, tepatnya tahun yang baru telah dimulai.

Saat ini pukul 9.57 pagi. Sudah cukup siang bisa kukatakan untuk bangun pagi bukan? Ya, mau bagaimana lagi. Kejadian setengah jam yang berulang ribuan kali itu, dan insiden malam tadi, membuatku lelah secara fisik dan batin. Idealnya aku perlu tidur 24 jam lagi, tapi sebaiknya aku tidak melakukan itu. Karena jam 11 ini aku akan pergi menjenguk Yuuko yang dirawat di rumah sakit.

Malam tadi adalah klimaks dari paradox tanpa henti itu. Setelah Yuuko tertabrak dan mengalami pendarahan berat pada kepalanya, kupikir sekali lagi ini akan menjadi akhir dari Yuuko. Tapi siapa yang menyangka? Luka yang dialami Yuuko kali ini tidak separah pada insiden sebelumnya. Dan lagi pengemudi mobil putih yang menabrak Yuuko berkali-kali itu ternyata adalah seorang dokter. Walau aku tidak bisa memaafkannya karena ceroboh berkendara, tapi aku tetap memerlukannya dan berterima kasih padanya karena segera memberikan pertolongan pertama pada Yuuko.

Kudengar darinya dia terburu-buru karena ada seorang pasien di UGD yang segera memerlukan bantuannya. Tapi siapa sangka kegegabahannya justru menjadi tragedi seperti ini. Ya, pelajaran itulah yang kupelajari setelah ribuan kali mengulangi waktu yang sama. Gegabah bertindak itu tidak akan membawa hasil yang baik.

Karena tujuan yang akan kami tuju sama, dia pun mengikutsertakan Yuuko ke dalam mobilnya. Tentu saja aku juga ikut naik untuk menjaga Yuuko. Sedangkan Akane, dia memutuskan untuk pergi ke kuil dan berdoa agar nyawa Yuuko terselamatkan.

Tahun baru kali ini kulewati dengan berada di koridor UGD. Menunggu, dan menunggu hasil yang masih belum pasti. Pada titik ini jika aku mengulang dengan reset button, aku akan kehilangan check point idealku. Ada kemungkinan justru kalaupun aku kembali ke masa lalu, aku tidak bisa melakukan perubahan apa-apa lagi.

Setelah sekitar satu setengah jam menanti, barulah dokter keluar dari kamar operasi.

"Tidak apa-apa, dia selamat."

Mendengar kata itu keluar dari mulut dokter langsung membuat seluruh ketegangan dan bebanku hilang. Beliau bilang nyawanya dapat terselamatkan, yah walaupun banyak luka berat yang dideritanya. Besok pagi–ah tidak, nanti pagi katanya Yuuko sudah bisa dijenguk.

Aku terpaksa pulang ke apartemenku karena aku tidak diizinkan menginap di rumah sakit. Tapi mengetahui kabar gembira itu membuatku dapat pulang dengan lega ke apartemen. Sepulangnya aku langsung tertidur dan akhirnya baru bisa bangun sekarang.

Jam sebelas yang kurencanakan tersisa satu jam lagi. Karena itulah kuputuskan untuk segera bersiap mandi dan pergi ke rumah sakit segera.Lima belas menit waktuku kuhabiskan untuk mandi dan kemudian memilih-milih pakaian yang akan kukenakan untuk ke rumah sakit. Pilihanku jatuh pada kaos berleher tinggi warna krim dan celana panjang berwarna copper. Tak lupa kutaruh syal berwarna merah di atas bajuku agar aku tidak lupa lagi. Asyik berganti baju, tiba-tiba bel apartemenku berbunyi.

Apakah itu Akane? Benar juga, aku belum memberitahunya apa-apa tentang Yuuko.

Kubuka kunci pada pintuku, dan membukakan pintu depan dengan lebar.

Namun bukan Akane yang kudapati di sana. Sosok pria dengan pakaian tertutup serba hitam berdiri di depan pintuku. Penampilan dan gelagatnya sangat mencurigakan. Tiba-tiba dia mengangkat tangan kanannya sepinggang.

Psyu...

Suara peluru melesat dari pistol berperedam, menembus perutku dan membuat lubang di sana. Tubuhku langsung lemas dan tergeletak di lantai.

"Maaf, aku harus melakukan ini. Untuk menjaga agar dimensi ini tetap stabil maka keberadaanmu harus dieleminasi dari dimensi ini."

Ujar pria misterius itu.

Pria itu melepaskan masker, topi dan kaca mata hitam yang sejak tadi dikenakannya, menunjukkan wujud yang persis sepertiku sekarang ini. Otakku langsung dapat memproses apa yang sebenarnya terjadi di sini.

"Begitu rupanya, siapa sangka masa depanku sendiri yang akan membunuhku."

Ucapku pelan.

"Reset button, alat yang mengirimkan kesadaranmu ke setengah jam di masa lalu. Sudah ribuan kali aku menggunakan alat itu, dan kupikir suatu hari aku pasti harus membayarnya dengan nyawaku untuk perjalanan ini."

"Aku tidak tau apa yang kau alami dalam perjalanan waktumu, karena dimensi tempatku berasal sangat berbeda dengan dimensimu, jadi ingatanmu dengan ingatanku tentang insiden ini sama sekali tidak tersambung. Tapi, kerja bagus. Mulai detik ini peran Tatsumi akan kuambil alih, aku kan melindungi Yuuko mulai sekarang, jadi kau beristirahatlah dengan tenang."

Ketika itulah, aku teringat dengan Yuuko. Apa aku sanggup berpisah dengannya? Tentu saja tidak, jika iya kenapa aku rela mengulangi ribuan kali malam itu? Lalu kenapa aku harus menyerah sekarang? Jika ada cara untuk menyelamatkan Yuuko, maka pasti ada cara untuk menyelamatkanku juga.

Membayangkan semua itu membuat darahku panas. Aku tidak bisa membohongi diriku sendiri. Yang kuinginkan bukan hanyalah menyelamatkan Yuuko, tapi untuk bersama dengannya selalu.

"Yuuko..."

Gumamku di akhir nafas yang semakin memberat ini.

"Tak apa, kau bisa menyerahkannya padaku."

Aku mencoba sekuat tenagaku merangkak ke arahnya. Kemudian mengangkat tanganku dan memanggilnya agar menunduk.

Dia pun berlutut di hadapanku, dan dengan kekuatan terakhirku kuraih badannya dan memanjat ke atas. Mensejajarkan bibirku dengan telinganya. Kemudian aku berbisik.

"Memangnya aku rela menyerahkannya?"

Satu bisikan yang mengandung makna tantangan membuatnya terkejut, di dorongnya tubuhku dan di arahkannya pistol itu tepat ke kepalaku.

Tapi tujuanku sebenarnya telah tercapai, reset button. Kebiasaanku menyimpan handphone di saku kiri tidak pernah berubah. Karena itulah aku tau dia menyembunyikannya di sana. Sekali lagi akan kuulangi waktu ini. Tidak peduli berapa kali aku harus mengulang hingga ending ideal yang kuinginkan terwujud, aku akan terus mengulanginya.

Kuaktifkan reset button dan menekan tombol itu.

"Sebaiknya kau hentikan itu segera!"

Kuabaikan perintahnya itu, walaupun ujung pistol sudah ditudingkan di kepalaku.

Psyuu...

Sekali lagi bunyi itu terdengar. Kini aku bertaruh dengan waktu. Siapa yang akan lebih cepat? Peluru itu menembus kepalaku dan membunuhku? Atau kesadaranku akan lebih dulu berpindah dimensi?

Entahlah, aku sendiri tidak tau. Yang kusadari setelahnya hanyalah aku tidak lagi di dimensi itu. Apakah aku ada di dimensi waktu lainnya, ataukah aku berada di dimensi setelah kematian, semua masih misteri. Sampai aku membuka mata ini.

Untuk Yuuko di dimensi itu, akan kuserahkan padanya. Tapi tidak untuk dimensi berikutnya yang akan kutuju. Akan kupastikan, akulah yang akan melindungi Yuuko.

oOo

Tok tok!

"Masuk!"

Pintu bergeser pelan, memperdengarkan sekilas keributan di suatu lorong. Di lorong itu kini berdiri seorang pemuda berperawakan tinggi dengan mantel hitamnya. Rambutnya lurus berwarna kuning kecoklatan. Mata kuningnya menatap hangat ke dalam ruangan. Bibirnya menekuk membentuk sebuah senyuman.

Dan gadis ituーgadis yang mengizinkannya masukーtau tentang identitas pemuda ini.

Walau kondisi gadis itu kini duduk bersandar di atas kasurnya, dengan balutan perban di kepala dan gipsum di lengannya, dia masih bisa memberikan tatapan hangat. Sebuah senyum mengembang di bibirnya sebelum memanggil nama pemuda itu.

"Tatsumi."

Reset ButtonWhere stories live. Discover now