BAB 5 :: Si Perenggut Kebahagiaan

4.4K 414 36
                                    





***

Alkan masuk ke dalam kamar Rachel tanpa mengetuk pintu. Membuat Rachel yang sedang menyisir rambutnya menoleh ka arah sang adik yang berjalan cepat ke arahnya.

"Kamu kebiasaan! Nggak ngetuk dulu?! Ada apa kok sampe buru-buru gitu?"

Rachel meletakkan sisir di atas meja rias. Ia membenarkan letak anting di telinga. Memandang ke arah cermin datar di hadapannya, Rachel sangat yakin setelah memeriksa penampilan.

"Kakak serius mau nikah sama Dokter itu? Dua minggu lagi? Apa nggak mendadak?"

"Hah? Kamu denger dari siapa?" Tanya Rachel menoleh cepat.

"Itu, Papa pulang-pulang langsung nyari Mama. Mereka lagi seneng karena Dokter itu katanya lamar Kakak. Dan pernikahan tetep di laksanakan."

"Papa tau dari mana?"

"Dari Kantor. Kayaknya Dokter Candra ketemu sama Papa siang tadi buat ngobrolin masalah ini. Dan katanya juga, Kakak udah setuju ya soal itu? Kenapa Kakak mau? Ini bukan Kakak? Mereka kan orang asing, sebenernya apa yang Kakak rencanain?"

Rachel berdiri dari kursi riasnya. Ia berjalan untuk duduk di atas kasur sambil menyilangkan kaki.

"Nggak ada rencana apapun. Kakak pikir, nggak ada salahnya buat nikah dan jadi pengantin pengganti Dokter itu."

"Are you serious? Aku nggak ikhlas ya, Kakak gantiin Kak Kimberly gitu aja. Kan belum waktunya Kakak nikah. Kenapa Kakak mau?" Protes Alkan tak terima.

"Tenang aja, Kakak bukan mau pergi jauh. Kalo nikah kan tetep bisa ketemu kamu."

"Bukan itu, ini untuk seumur hidup? Apa Kakak nggak mikirin kedepannya nanti kalo jadi istri Dokter? Nikah tanpa cinta? Mendadak? Dalam waktu dua minggu? Gila bangett?"

"Semuanya udah Kakak pikir. Kamu nggak usah khawatir. Tenang, aja Kakak nggak papa."

"Kalo Kakak begini cuma karena Kakak kasihan sama Kak Berlyn, udah kak Stop. Kak Berlyn udah gede, dia tau apa yang dia lakuin dan konsekuensinya. Kakak nggak perlu ngorbanin diri buat jadi tumbal lagi. Apa nggak cukup? Dari dulu, sekarang? Kenapa harus Kakak yang berkorban dan tanggung jawab?" Mendengar ucapan Alkan membuat Rachel tersenyum. Matanya memanas, ucapan Alkan memang benar, dan sedikit mengharukan.

Alkan yang jauh lebih tinggi darinya, terlihat seperti seorang yang sedang protes ke anak kecil. Padahal, sebaliknya di sini jarak usia mereka tujuh tahun. Dan Rachel malah terlihat seperti adik.

"Iissshh, kamu udah dewasa bangett?" Peluk Rachel ke tubuh adiknya. Gadis itu juga berjinjit untuk mengacak rambut Alkan gemas.

"Kakak tau, meskipun kamu diem kamu pengamat dari dulu. Dan yang perlu kamu tau, Kakak nggak berkorban kok. Ini keputusan Kakak. Nggak ada yang memaksa, nggak ada salahnya juga kan buat nyoba?"

"Apa Mama sama Papa maksa Kakak buat ini? Secara dari awal mereka jodohin Kak Kimberly, niat Papa emang mau kerja sama, sama Keluarga Dokter itu. Kalau penyatuan dua keluarga hebat lewat pernikahan ini tercapai, Kakak tau kan dampaknya buat efek bisnis nanti?"

Rachel mengangguk, ia melepaskan pelukan pada tubuh Alkan.

"Kakak tau, dan itu juga tanggung jawab Kakak, sebelum Kakak terjun ke dunia bisnis yang bakal Papa kasih nanti. Kamu tenang aja, nggak usah khawatirin Kakak. Semua bakal baik-baik aja, kok." Rachel mencubit pipi Alkan, lagi-lagi ia tidak bisa menahan diri untuk tidak menyakiti adiknya.

"Sakitttt!" Kesal Alkan sambil menggerutu, tapi ia tetap membiarkan Rachel memainkan pipinya.

"Kamu udah gede banget, sih? Kok masih gemesinnn gini? Perasaan kemarin masih TK.."

"Emang nggak boleh tumbuh? Masa TK terus?" Balas Alkan cepat. Matanya melirik ke arah pakaian yang di pakai Kakaknya. Ia pun menyipit penuh selidik.

"Sore-sore begini, Kakak mau kemana rapi banget?"

Rachel mundur, membiarkan tubuh mereka berjarak. Karena Alkan membahas penampilannya, Rachel pun kembali meneliti setelan yang ia gunakan.

"Kenapa? Jelek ya?" Bukannya menjawab, Rachel malah balik bertanya.

"Kakak pasti mau ketemu Dokter itu lagi, ya?"

"Iya, mau rencanain sesuatu bareng. Karena mepet, jadi semuanya serba mendadak."

"Aku ikut!"

"Nggak boleh! Anak kecil di larang ikut!" Jawab Rachel cepat.

"Janji nggak akan ganggu. Aku ikut aja,"

"Nggak ada. Nggak yakin kamu diem aja. Pokoknya nggak ada."

Alkan menggerutu, ia mengerutkan bibirnya sambil berjalan keluar dari kamar Rachel.

"Rachel!" Panggil Mama Gideon menghampiri anaknya masuk ke dalam Kamar. Ia bertemu dengan Alkan yang murung. Menatap bingung, namun mengabaikannya.

"Dokter Nicho udah di bawah, katanya jemput kamu. Kalian mau pergi bareng, ya?"

Rachel mengangguk. Tidak memberikan jawaban apapun, ia menyahut tas tangannya di atas kasur.

"Mau kemana?" Tanya Mama Gideon yang penasaran.

"Rahasia. Nanti Mama juga tau," jawab Rachel sambil menuruni tangga.

"Iya, maaf Om sebelumnya nggak bisa ngadain prosesi lengkap. Karena waktu yang mepet, saya dan Rachel sepakat untuk langsung mengadakan resepsi, setelah pemberkatan."

"Iyaa, Om paham. Nggak papa, asal semua berjalan dengan lancar. Dan asal, putri Om nggak keberatan soal itu.."

Samar-samar Rachel mendengar obrolan di ruang tamu saat ia berjalan keluar, di ikuti Mama di belakang.

"Saya juga mohon ijin untuk menikahi Rachel. Dari banyaknya kejadian yang sudah terjadi, akhirnya saya memantabkan diri untuk menikahi putri kedua keluarga Gideon. Saya tau, Ayah saya mungkin sudah membicarakan hal ini kepada Om. Tapi, saya juga mau ngomong langsung."

Papa Gideon tersenyum girang. Ia menganggukan kepalanya, seolah kemarahan kemarin karena kesalahan Kimberly lenyap seketika, tertimbun dengan kebahagiaan pernikanan Rachel yang mendadak.

"Om ijinkan. Sangat ijinkan. Nanti Nicho mau adakan pernikahan tetap pada tanggal yang sudah di tentukan di awal, ya? Kata Candra tadi semuanya sudah terlanjur di siapkan untuk pernikahan kamu dan Kimberly, karena batal dan dari pada mengulang mending melanjutkan?"

Nicho menganggukan kepalanya, bertepatan dengan munculnya Rachel di hadapan mereka.

"Pa, pergi dulu ya."

Nicho bangkit berdiri, membuat Papa Gideon ikut berdiri.

"Iya, hati-hati kalian."

"Saya pamit dulu ya Om, Tante." Pamit Nicho sopan sambil menjabat tangan Papa dan Mama Gideon.

"Udah boleh mulai panggil Mama Papa, lho Nicho. Jangan sungkan, sebentar lagi kan jadi menantu idaman keluarga ini."

Nicho tersenyum ramah. Ia membukukkan tubuh sebelum benar-benar membawa Rachel pergi dari rumah itu.

Sementara, seorang wanita berdiri di balkon lantai dua. Menyaksikan kepergian Rachel yang masuk ke dalam mobil Nicho. Wanita itu mengusap pipinya yang basah. Ia mengelus perutnya, wajahnya yang polos tanpa polesan Make Up membuat terlihat jauh lebih pucat.

"Kenapa, Kak? Kakak merasa direnggut kebahagiaannya?" Kimberly buru-buru menghapus air mata itu. Ia menoleh ke arah Alkan yang sudah berdiri di sebelahnya, ikut melihat ke bawah.

"Kamu? Ngapain? Sejak kapan berdiri di situ?"

"Semoga setelah ini Kakak sadar, ya. Yang sebenernya suka merenggut kebahagiaan orang itu siapa. Jangan berlagak layaknya korban." Alkan menatap Kimberly penuh kekecewaan. Entah apa yang membuat ia tidak sedekat itu dengan Kakak pertamanya.

Usai mengatakan kalimat itu, Alkan berbalik pergi. Meninggalkan Kimbelry yang mengepalkan tangannya di atas pagar besi.


***

Jadi, menurut kalian? Disini Kimberly salah nggak guys? Pendapat kalian gimana hihi?

Met malming kawandd! Jan lupa buatt vote komen yaaww. Luvv luvvv!!!

Unexpected MarriedWhere stories live. Discover now