Bab 10:: Syarat untuk Tinggal

2.5K 263 47
                                    

"Kamu juga jangan pernah berpikir untuk memindahkan barang-barang yang sudah di tata rapih di rumah ini, ya." Nicho berujar tanpa menghentikan langkah kakinya, meninggalkan Rachel yang masih termenung di ambang pintu.

"Rumah ini ada empat kamar, satu kamar utama, dua kamar anak dan pembantu, dan yang ada di lantai pertama ini kamar tamu," jelas Nicho yang lagi-lagi membuat Rachel berhenti menarik kopernya.

Di perjalanan mereka dari hotel, tempat mereka kemarin mengadakan pemberkatan dan resepsi pernikahan, Nicho selalu membahas hal-hal tentang rumah minimalis miliknya, yang memang sudah ia bangun dan di persiapkan khusus untuk calon istrinya. Jelas, calon istri yang Nicho maksud adalah calon istri pertamanya.

Katanya juga, rumah ini memiliki design dan interior pilihan yang sudah ia dan calon istri pertamanya itu diskusikan. Mendengar hal itu saja sudah membuat Rachel merasa jengkel. Sangat jengkel, terlebih barusan ia juga mendengar Nicho melarang ia memindahkan semua barang-barang yang ada di sini.

Apa itu tidak keterlaluan?

Yah meskipun Rachel bukanlah calon istri yang benar-benar di inginkan Nicho untuk menemani pria itu tinggal di sini, setidaknya pria itu tidak boleh bersikap seenaknya pada dirinya. Rachel yakin, sikap Nicho ini akan berubah begitu orang yang saat ini berdiri dengannya bukanlah Rachel, melainkan mantan tunangannya.

"Kamar kamu di atas, di sebelah kamar utama. Kamu bisa pakai kamar anak, karena memang untuk saat ini kamar itu tidak di gunakan. Oh ya, dan jangan pernah sekalipun kamu masuk ke kamar utama."

Kening Rachel berkerut, ia sudah berkacak pinggang ingin sekali melayangkan protes. Baru sejengkal masuk ke dalam rumah ini saja, Nicho sudah menegaskan batas di antara mereka.

"Kamar utama, adalah kamar impian wanita itu. Kamar yang seharusnya aku dan dia tempati. Semua barang-barang di rumah ini, perabotan, dan ruangan semua kami berdua yang menatanya. Jadi, tolong hormati keputusan itu. Jangan rubah apapun dari rumah ini, dan jangan pernah masuk ke kamar utama."

Rachel membulatkan matanya malas, ia juga melipat kedua tangannya di depan dada. Memandang kesal ke arah Nicho dengan tatapan dingin.

"Emang seberapa mewah sih kamar utama? Sampai orang lain nggak boleh masuk ke sana?"

"Nggak mewah, kamarnya sederhana. Tapi, memang di sesuaikan dengan selera kami berdua. Aku akan tetap tidur di kamar utama, dan kamu bisa tidur di kamar anak. Kalau kamu tidak nyaman, kamu bisa tidur di kamar tamu. Ruangannya di belakang kamu," Nicho menunjuk ruangan di belakang Rachel menggunakan dagunya. Rachel pun menolehkan kepala ke belakang dengan sekilas, kemudian kembali menghadap ke Nicho.

"Di belakang ada dapur bersih, dan di dekat basement ada dapur kotor. Sementara aku nggak mau pakai mbak karena selama ini aku bisa handle semua pekerjaan sendiri. Aku harap kamu juga begitu, kita bisa kerja sama buat sekedar bersih-bersih atau buat sarapan. Selebihnya aku bakal makan di luar. Oh satu lagi, jadwal praktikku sepulang dari RS itu sekitar jam empat sore. Di ruangan sebelah garasi. Bakal ada beberapa perawat dan apoteker yang bantu, mereka bakal datang satu jam sebelum aku buka praktek, nanti aku bakal kenalin sama kamu, biar kamu nggak bingung."

"Tunggu.. nggak pakek Mbak kata kamu?"

Nicho menganggukan kepalanya mantab. Rachel menepuk jidatnya sambil tertawa hambar.

"No! Aku nggak bisa? Bisa bisanya kamu bilang nggak butuh Mbak? Aku nggak setuju, aku nggak terbiasa buat ngerjain pekerjaan rumah kaya gini? Bersih-bersih? Waww, rumah segede ini? Nggak..nggak... aku bakal telpon Mama buat nyariim Mbak buat kita."

"Kenapa harus pakek asisten rumah tangga kalau kamu dan aku masih bisa? Lagi pula kita nggak terlalu membutuhkan itu," jawab Nicho namun Rachel tetap tidak mau mengalah.

"Kalo soal butuh atau enggak, fine! Aku yang butuh, kalo misal kamu mau kita patungan buat bayar kebutuhan rumah selama aku tinggal di sini, its okey, aku yang bakal bayar Mbak nya."

Nicho menggelengkan kepalanya, dia tidak mengerti dengan jalan pikiran Rachel.

"Bukan masalah bayar, cuman kamu nggak mikir apa yang terjadi kalau kita pakai mbak? Sewaktu waktu dia bisa ngadu ke Mama kamu, apa yang terjadi sebenarnya sama kita?" Mendengar hal tersebut membuat Rachel berpikir. Perlahan ia mulai tenang, sambil menarik nafas Rachel berusaha mengerti keadaan ini.

"Aku nggak tau ya, mau semandiri apa calon istri pertama kamu itu, tapi aku sama dia jelas beda. Aku nggak bisa ngerjain semua ini sendirian, ataupun sama kamu. Aku sibuk kerja di kantor dari pagi sampai malam, sampai rumah masih di suruh buat beresin rumah ini? Jujur aku nggak bisa. Terserah kamu sekarang, mau pakai mbak atau enggak, intinya aku gabisa."

Rachel berjalan melewati Nicho yang menghela nafasnya sambil memejamkan mata. Ia membiarkan Rachel pergi entah kemana sambil menarik koper miliknya.

Sementara gadis itu masuk ke dalam sebuah ruangan minimalis, ruangan yang di design layaknya ruangan anak kecil. Rachel yakin, tempat ini adalah ruangan yang Nicho sebut dengan 'kamar anak'.

Rachel duduk di atas ranjang mini, yang mungkin hanya cukup di tiduri satu orang itu. Ia juga meletakkan koper miliknya di sudut ruangan.

Matanya memandangi sekitar dengan kening yang berkerut. Suasana hatinya berubah buruk semenjak Nicho selalu membahas wanita itu. Terkadang Rachel merenungi perbuatannya sendiri, apakah ini menjadi keputusan yang baik untuk ia jalani? Satu tahun bukanlah waktu yang singkat untuk menyengsarakan diri di dalam rumah ini. Sebenarnya alasan apa yang membuat dia berada di sini sekarang? Benarkan Rachel hanya ingin keluar dari jerat tanggung jawab orang tuanya? Atau ia ingin menggantikan posisi Kimberly karena merasa itu adalah tanggung jawabnya sebagai adik? Mungkinkah karena keegoisannya yang tidak ingin menjadi korban ke-protektifan kedua orang tuanya?

Rachel mengusap wajahnya sendiri. Kesunyian di ruangan itu berubah seketika, ketika dering di ponselnya berbunyi. Rachel mengangkat telepon dari Mamanya dengan enggan, namun tetap gadis itu berusaha menutupi situasi yang terjadi.

"Iya, Ma?"

"Sayang, maaf banget harus bilang gini. Mama titip Alkan satu malam ya di rumah kamu sama Nicho. Bulan madu kamu masih lusa kan? Jadi, Mama nitip Alkan dulu karena Mama, Papa, sama Kakak kamu mau ke Singapure besok. Kita mau ketemu keluarga Reymond di sana."

"Haaah? Kenapa harus nitip kesini si, Ma? Kan biasanya Alkan juga di rumah sendiri sama Mbak?"

"Aduhh, Mbak lagi ijin pulang kampung satu minggu. Suaminya sakit, kalau Alkan di rumah sendiri bisa bahaya dia pasti keluyuran ke mana aja. Semalam doang kok, Chel. Boleh ya? Mama bakal telpon Nicho setelah ini."

"Ah Mama, kan nggak enak sama Dokter Nicho. Belom semalam aku pindah, udah bawa-bawa adik aja."

"Mama yakin Nicho nggak masalah. Dia pasti juga mengerti situasi di keluarga kita. Mama minta tolong sama kamu dan Nicho ya. Mama bakal urus Kakak kamu dulu setelah ini," lanjut seseorang di balik telepon.

"Yaudah. Nanti aku bakal bilang sama Dokter Nicho. Terus, Alkan kapan kesini?"

"Malam ini kayaknya dia mau langsung nginep di sana. Jadinya nanti dua malam ya nginepnya."

"Haahh? Malam ini??"

"Iya? Kenapa? Kok kaget gitu?"

"Enggak, Ma. Yaudah, udah dulu ya Ma. Dokter Nicho manggil aku tuh, aku nyamperin dia dulu ya."

Rachel buru buru mematikan sembungan telepon antara dirinya dan Mama Gideon. Terlepas dari itu semua, gadis itu buru buru keluar dari kamar dan turun menuju lantai bawah untuk mencari Dokter Nicho.

"Duh, kemana sih itu orang?" Ucapnya kesal karena tidak menemukan Nicho di berbagai ruangan.

Matanya tidak sengaja melirik jarum jam yang menggantung di dinding. Pukul lima, yang artinta Nicho sedang berada di ruang praktik.

Rachel buru buru berjalan menuju ruang praktik Nicho yang terhubung dengan ruang keluarga. Ia mendapati seorang wanita berseragam perawat berdiri di luar ruangan. Kepalanya menoleh ke arah kanan, tepat di mana puluhan orang sedang duduk mengantre di sana. Rachel tersenyum kikuk, ia pun kembali masuk ke dalam rumah dengan jantung yang berdebar.

"Wooww wowww, apa itu tadi? Huhhh, hampir aja.."

Unexpected MarriedWhere stories live. Discover now