7#PISTACHIO

202 161 164
                                    

Suatu malam temaram di bulan Januari 6 tahun yang lalu, hujan baru pergi setelah cukup lama bercengkrama dengan Bumi. Bercengkrama dan mendekap dengan hangat, namun terasa sangat dingin. Malam itu, seorang remaja laki-laki berusia sekitar 14 tahun menatap kosong ke luar jendela. Melihat sisa-sisa obrolan hujan dengan bumi. Ingatan-ingatan dimana dia disakiti oleh teman-temannya selalu saja muncul. Rasa sakit diseluruh tubuhnya tidak seberapa dengan betapa sakit hatinya karena perundungan itu.

Di kamar nuansa pistachio itu, hanya ada hening, namun isi kepala remaja itu sangat ramai sekarang. Tak seperti nuansa kamarnya yang terang dan terkesan ceria, pemiliknya jauh dari keadaan seperti itu. Sesekali terdengar suara rintikan hujan yang tersisa, juga suara ketukan pintu dari luar sana yang sama sekali tak dipedulikan. Dari sisi lain, seorang wanita dewasa menggedor pintu didepannya dengan begitu kuat. Sangat kuat hingga ruas jari wanita itu memerah. Disampingnya, seorang pria berusia sekitar kepala 3 menopang raga istrinya yang mulai kehilangan keseimbangan.

"Rafaa...buka pintunya nak", lirih wanita itu. Air mata semakin deras membanjiri pipi lembutnya. Benar, remaja putus asa didalam kamar tersebut adalah pria yang kalian kenal sebagai Rafa Qahir Shahzaib. Siapa yang menyangka pria dingin incaran gadis-gadis cantik di kampus pada masa lalunya hanyalah pria yang pernah mengalami depresi berat hingga menyebabkan dia divonis mengidap Dissociative Identity Disorder (DID) atau yang lebih dikenal sebagai kepribadian ganda.

Hal itu disebabkan oleh perundungan yang selama ini ia terima dari kakak kelas serta rekan sekelasnya sendiri. Rafa remaja sering kali mendapat perlakuan yang tak pantas dari mereka. Mulai dari pelecehan verbal, pemalakan, sampai kekerasan fisik semuanya pernah Rafa alami. Orang tua yang selalu sibuk membuatnya tidak memiliki tempat untuk sekedar bercerita. Hal seperti itu terus menerus terjadi hingga menyebabkan Rafa berimajinasi memiliki seseorang yang lain didalam dirinya untuk diajak berkeluh kesah. Tapi, seiring berjalannya waktu 'teman' itu mengambil alih sebagian besar dirinya. Seperti malam ini, sisi lainnya kembali mengalahkannya. Dan setiap 'teman' itu hadir dan mengajaknya bermain, dia selalu mengajak untuk melakukan percobaan bunuh diri.

"Rafa, ayah boleh masuk? Bukain pintunya dong", ucap sang Papa dari balik pintu putih yang terkunci rapat itu. Sementara, satu sis lainnya, dipenuhi bercak darah dari tangan Rafa.

"Raf...", belum sempat Papa menyelesaikan ucapannya, suara ketukan pintu terdengar sehingga membuatnya refleks menoleh ke sumber suara.

Tok...tok.. tok...

"Assalamualaikum om, tante", ucap seorang gadis remaja dari luar sana.

"Waalaikumussalam. Ada perlu apa ya dek?", tanya Daniel, Papa Rafa.

"Halo om, ini rumahnya Rafa kan? Ini, tadi bukunya ngga sengaja kebawa sama aku. Sama ini, kue dari bunda", ucap gadis itu dengan menyerahkan kue dan buku ditangannya.

"Kamu temennya Rafa? Terus rumah kamu dimana?", tanya Papa penasaran.

"Itu, disebelah rumah om. Baru aja aku pindah", tunjuk remaja itu kerumah sebelah.

"Ooo jadi kamu anaknya pak Abdul?", tanya Papa untuk memastikan.

"Iya om, hehe. Ngomong-ngomong Rafanya mana om? Udah tidur ya?", tanya gadis itu.

Bukannya menjawab, Daniel justru diam mematung. Dia teringat pesan dokter Alika supaya mereka mencarikan Rafa seorang teman. Teman sungguhan, supaya Rafa tidak berimajinasi tentang teman khayalannya lagi. Apakah ini waktu yang tepat untuk itu?

"Om? Kalau Rafa udah tidur aku langsung pulang aja deh. Sama-sama buat kuenya", ucap remaja perempuan itu tak tau diri.

"Eh, tunggu. Rafa ada, dia lagi belajar dikamar, kamu mau masuk?", tawar Daniel.

COIN || Dean Abimana PutraWhere stories live. Discover now