21#INDICOLITE

32 21 66
                                    

Tulisan tangan yang berjejer rapi diatas kertas, selayaknya barisan tentara bersenjata pada genderang perang yang siap menyerbu Arisha kapan saja. Bergerilya searah dengan pandangan Arisha yang berpindah dari satu kata ke kata yang lain, kemudian satu kalimat ke kalimat lain. Dan Arisha adalah panglima yang bersedia mati dalam perang tersebut. Tulisan-tulisan itu membuat hati Arisha bergemuruh, sekali lagi.

Sabtu, 28 Mei 2020

'Assalamualaikum Sayang...', sapanya lewat surat itu. Hanya dengan sebuah doa keselamatan itu, air mata Arisha sudah menitik.

Sesaat kemudian bibir ranumnya menjawab dengan lirih, "Waalaikumussalam, Sayang"

'Apa kabar? Ini aku, Dean Abimana Putra. Kamu ingat kan? Kalau tidak, tidak apa aku akan membuatmu mengingatnya melalui surat yang aku tulis ini'

'Aku laki-laki yang sama dengan yang mengatakan 'aku sayang kamu' satu tahun 5 bulan 23 hari yang lalu di cafe yang bertempat di penghujung jalan Halim Perdanakusuma. Laki-laki yang sama dengan yang mengatakan kata itu untuk ke-sekian kalinya di mall sembari memberikan sebuah cincin bertahtakan berlian yang sama cantiknya dengan kamu...'

Semakin masuk kedalam paragraf dan bait kata, tangis Arisha semakin menjadi. Seakan-akan dirinya menyelam kedalam lautan paling dalam, lalu kapal selamnya pecah sebab tak mampu menahan tekanan air yang begitu kuat dari luar sana. Pada akhirnya Arisha hanya bisa pasrah untuk tenggelam dalam lautan tersebut, mati perlahan tanpa seorang pun tahu.

'Laki-laki yang selalu berdebat sama kamu tentang warna-warna yang terlalu samar untuk dilihat, karena mungkin memang begitulah kenyataannya. Kamu tau kenapa aku suka warna-warna itu? Karena mereka mirip aku Zy. Mungkin diantara banyaknya peredaran manusia, aku terlalu samar untuk dilihat. Khususnya buat kamu-'

"Engga De, bukan. Bukan kamu yang terlalu samar, tapi aku yang terlalu buta untuk melihat sinar unik milikmu", jawabnya disela-sela kata. Seolah Dean mengatakan itu secara langsung dan Arisha merespon dengan jawaban terbaik yang Arisha punya.

'Maaf, sinarku mungkin ngga se-terang Rafa yang begitu mentereng buatmu. Tapi, aku berusaha untuk jadi senja yang temaram dan singkat namun selalu jadi favorit kamu Zy'

'Maaf juga karena aku ngga berani buat kasih surat ini secara pribadi ke kamu, aku tahu kamu pasti ngga suka kan aku titip ini ke Eliza? Tapi aku ngga punya jalan lain, kalau aku titip ke Mama atau Arumi mereka pasti penasaran dan mungkin akan baca surat ini. Jadi aku pilih Eliza-'

Membaca itu Arisha dibuat terperangah.

"Dean tahu kalau selama ini aku ngga suka sama Eliza?", Arisha bertanya pada dirinya sendiri, mungkin juga pada surat yang sisi kanan dan kirinya hampir kusut sebab digenggam terlalu kuat.

Lalu bagai sebuah telepati, kalimat berikutnya adalah sebuah jawaban yang begitu mendebarkan untuk Arisha.

'Kalau kamu baca ini, mungkin kamu bertanya-tanya kenapa aku bisa tahu kalau kamu ngga suka sama Eliza, iya kan? Haha, cara kamu natap mata Eliza setiap gadis itu bicara sama aku, cukup menjelaskan semua yang kamu rasakan Zy. Mungkin bagi orang lain itu ngga berarti apa-apa, tapi bagiku bahkan setiap napas kecilmu-entah kenapa selalu berharga.'

'Oh iya, kamu tahu? Aku tulis surat ini di Rumah Sakit. Dan disetiap harinya-kata Mama, aku selalu tanya tentang kedatangan kamu. Aku nunggu kamu di hari-hari beratku itu. Bahkan Arumi sampai mengoceh panjang lebar sebab bukan dia yang aku cari, tapi justru kamu, hehe.'

'Ah, aku baru ingat aku belum cerita apa-apa ya? Jadi, sejak sekitar 5 bulan lalu, kata dokter aku kena virus hepatitis, yang kemudian 3 bulan setelahnya kata dokter itu semakin parah dan sekarang berkembang jadi sirosis hati. Aku juga ngga paham apa itu, dan setiap aku tanya Eliza dia ngga pernah mau kasih tahu aku"

COIN || Dean Abimana PutraWhere stories live. Discover now