22#XANADU-Epilogue

33 18 62
                                    

Dihadapan epitaf hitam yang terpasang kokoh menancap bumi, Arumi merasakan duka yang menyeruak begitu dalam. Membuatnya harus menarik napas panjang berulang kali. Namun entah kenapa, dalam setiap tarikan dan hembusannya, hatinya justru semakin terasa sesak.

"Kakak....", lirih remaja itu.

"Arumi gimana Kak? Kalau Kakak beneran pergi, nanti Arumi dirumah sama siapa kalau Papa Mama lagi sibuk?", ujarnya diiringi air mata yang terus meluruh mengantarkan kepulangan sang Kakak.

"Malam waktu Kakak bilang 'suka banget liat Kakaknya cepet pergi' aku ngga tau maksud Kakak itu pergi yang kayak gini. Arumi sayang kok sama Kakak. Maafin Arumi ya, yang selama ini sering marah-marah ke Kakak...."

"....Arumi pasti bakal kangen banget sama Kakak setelah ini. Rumah juga pasti bakal sepi Kak", Arumi terdiam beberapa saat hingga sebuah kalimat dari sang Kakak melintas dibenaknya.

Sesaat Arumi terlihat memejamkan mata dan mendengus pelan. Lalu setelahnya, air mata kembali menggenang di mata hazel miliknya.

"Ternyata Kakak benar. Kalau nanti Arumi bakal menua sendiri, dan Kakak tetap muda. Gimana engga, kalau Arumi udah 22 tahun, bahkan 30 tahun sekalipun, Kakak akan tetep di usia 22 tahun, kan?", Arumi menangis lebih kencang setelahnya.

Arumi masih berkabung diatas pusara itu, hingga suara teriakan terdengar memanggil nama Kakaknya. Suara itu semakin mendekat di iringi derapan langkah yang juga semakin jelas. Sedetik kemudian, Arumi memutuskan untuk bersembunyi di balik sebuah pohon kamboja yang tumbuh subur diatas banyaknya kematian-yang tak jauh dari makam Dean.

"DEAN!!!"

"Maaf De, maaf", ucap seseorang didepan pusara sang Kakak-yang tak lain adalah Arisha.

Arisha meluruh bersamaan dengan air matanya, menatap gundukan tanah yang masih basah dan begitu harum sebab bunga-bunga yang ditabur diatasnya. Gadis itu hanya menangis tanpa bisa berkata apa-apa selain meminta maaf.

Ditatapnya lekat foto Dean yang tersenyum lebar-yang entah tersenyum untuk lukanya dulu, atau untuk luka yang ia tinggalkan sekarang.

"Dean...maaf. Aku ngga pernah sadar gimana aku menyakiti kamu selama ini, sampai akhirnya kamu menunjukkan itu semua hari ini. Pasti capek ya, menghadapi orang se abu-abu aku?", Arisha terisak.

"Maaf sekali lagi De, tapi kamu harus tahu satu hal. Bahwa aku mencintai kamu lebih dari yang kamu kira. Lebih dari yang orang lain lihat. Aku emang ngga bisa menunjukkan perasaan itu, aku ngga tau caranya De", Arisha meraup kasar wajah sembabnya.

"Mungkin emang cuma ini yang aku bisa. Minta maaf dan terus menangis ketika semuanya udah terlambat. Makasih De, kamu orang yang baik. Walaupun aku bukan orang yang pantas mendapat semua pengorbanan kamu selama ini. Maaf...."

"Kakak nyesel sekarang?"

Sebuah pertanyaan terlontar begitu jelas diiringi hujan yang ikut meluncur ke permukaan bumi. Padahal awan hitam baru saja menghilang, namun hujan dengan intensitas sedang justru sedang berlomba untuk turun.

Arisha menoleh dan mendapati Arumi dengan kondisi yang sama berantakan dengan dirinya.

"Semuanya udah terlambat Kak. Kakak ngga pernah sekalipun benar-benar peduli sama Kak Dean. Apa dengan nangis kayak gini Kak Dean bisa hidup lagi? Engga Kak Ica", kesal Arumi.

"Arumi...", panggil Arisha sembari bangkit dan menghampiri gadis remaja di depannya.

"Kak Dean habisin seluruh hidupnya buat Kakak. Tapi Kakak?", Arumi mendengus.

"Maaf, Arumi", pinta Arisha sembari menyentuh lengan bergetar milik Arumi. Membuat sang empu menarik paksa lengan miliknya dan membuat Arisha kehilangan keseimbangan.

"Lepasin. Kak Ica itu jahat, aku benci sama Kak Ica. Balikin Kakak aku! Balikin semua waktu kak Dean yang udah dihabisin sama Kakak! Engga bisa kan?!", Arumi mulai berteriak. Sementara Arisha memejamkan mata merasakan sakit yang teramat sangat pada hatinya.

"AKU BENCI SAMA KAK ARISHA!", teriak Arumi pada Arisha yang sudah terduduk diantara banyaknya jasad yang beristirahat.

Sementara Arisha tetap diam. Dirinya dibuat tak berkutik ketika menatap gadis didepannya yang sedang menangisi kepergian Kakaknya yang begitu tragis. Ditambah pahatan wajah gadis itu yang sangat mirip dengan sosok Dean. Dan ketika melihat itu, hati Arisha bertambah luka.

"Maafin Kakak, Arumi. Maaf...", lirih Arisha.

Terlihat Arisha berusaha menarik Arumi kedalam dekapannya, namun Arumi terus saja menolak dan mendorong Arisha dengan sisa kekuatan yang ia miliki.

"ARUMI!", suara teriakan mengejutkan Arumi dan Arisha yang sama-sama sedang tersedu.

"Kak Liza...", gumam Arumi.

"Apa yang kalian lakuin disini? Hujannya deras banget loh. Ayo pulang, Arisha juga", titah Eliza sembari menarik lengan Arumi.

"Tapi, aku masih mau disini Liz", ujar Arisha bersikukuh.

"Jangan gitu, ngga baik. Ikhlasin aja. Ayo!"

Arisha kembali mendekat ke pusara Dean. Tak sampai hati sebenarnya meninggalkan Dean sendiri. Namun untuk apa? Ketika Dean masih bisa membalas panggilannya, ia sama sekali tak ada. Lalu sekarang? Sekeras apapun Arisha memanggilnya, semuanya akan tetap sia-sia.

"Dean, aku pulang dulu, ya. Besok aku datang kesini lagi. Selamat tinggal, terimakasih udah jadi tempat yang kokoh buat aku selama ini. Aku pergi", pamit Arisha pada Dean.

'Hari ini, hatiku tidak setangguh kemarin. Mungkin karena sesak dan penyesalan di hati ini sudah terlalu penuh untuk dibawa. Hujan yang begitu kita sukai, hari ini rasanya seperti belati yang datang bertubi. Menusuk dan mengoyak semuanya tanpa sisa. Karena kamu layaknya duniaku. Bagaimana aku bisa bertahan jika semestaku runtuh? Walaupun begitu, tenang saja, ragaku mungkin meninggalkanmu lagi. Tapi do'a ku akan terus kualirkan untukmu. Akan ku kabari pemilik hati dan jiwaku bahwa aku tidak baik-baik saja tanpamu. Selamat jalan, selamat dipeluk semesta, sayangku'

Setelah lama memejamkan mata, Arisha bangkit dengan sedikit terseok. Ditatapnya langit gelap yang mulai menurunkan bulirnya sedikit lebih deras dari sebelumnya. Beberapa bulir bahkan terjatuh dengan begitu keras menghantam wajah cantiknya-seolah menyamarkan air mata yang menggenang di kelopak maniknya.

Dengan langkah tertatih, Arisha meninggalkan pusara Dean. Lagi, dirinya meninggalkan Dean lagi. Namun kali ini pilihan terbaik memang harus pergi. Dean dan dirinya sudah berbeda. Bahkan lebih berbeda dibanding sebelumnya.

Disana, di pusara itu, seseorang yang begitu hebat beristirahat dipeluk bumi. Meninggalkan semua rasa sakit dan hiruk-pikuk dunia yang melelahkan. Membiarkan orang-orang yang di tinggalkannya merasakan luka dan rindu yang luar biasa hebatnya. Sementara kini, dirinya sudah tidak peduli lagi. Dean sudah lelah. Dan tepat di saat itu, Tuhan memanggilnya untuk pulang.

Raga tanpa jiwa miliknya kini siap melebur bersama dinginnya tanah. Beristirahat akan semua letihnya. Bersama semua ketulusan cinta dan kebaikan hati yang dimilikinya.

-SELESAI-


Tenang saja, Dean tidak pergi kemana-mana. Dia bahkan sudah terlalu lelah untuk melangkah. Dia dan kenangannya masih ada disini. Bersamaku dan juga bersama kalian.

Sebenarnya butuh waktu sekitar 3 bulan untuk aku memikirkan akhir yang tepat untuk cerita ini. Mungkin agak klise, tapi aku berharap kalian dapat masuk dan menyelami tiap bait kata disini. Dan dengan ini, kunyatakan COIN || Dean Abimana Putra selesai sampai disini. Mungkin setelah part ini, akan ada 1 part spesial. Bukan update, hanya sebuah penutup dan terimakasih yang lebih layak. Untuk para karakter, untuk kalian semua, juga untuk diriku sendiri.

So, sampai jumpa di work-ku selanjutnya. Terimakasih untuk semua yang ikut meramaikan dan mempromosikan work ini, and see you on my next work!

Love,
Mazida_hn

COIN || Dean Abimana PutraWhere stories live. Discover now