18#OBSIDIAN

45 28 98
                                    

Awan hitam nampak sedikit menyingsing setelah tubuh ramping Arisha masuk dengan sempurna kedalam taxi. Gadis itu lalu menidurkan kepala Dean diatas pahanya. Matanya tak berhenti mengeluarkan air mata. Sementara hati dan bibirnya terus saja membacakan doa supaya Dean baik-baik saja.

"Ngga nyangka ya Neng, Bapak ketemu sama kalian lagi", ucap sang sopir mengalihkan fokus Arisha pada wajah tampan di depannya yang kini sedikit pucat.

"Iya Pak, aku juga ngga nyangka. Tapi, keadaannya beda banget sama yang dulu. Dulu, Dean yang berhentiin taxi Bapak buat saya, tapi sekarang saya yang ajak dia naik taxi ini...", cicit Arisha lirih. Ucapannya terputus sesaat, hatinya terasa begitu sesak.

"....tapi dia itu manja, Pak. Ngga mau naik sendiri, mintanya ditemenin. Ini juga ngga mau duduk sendiri", titah Arisha. Sementara sang sopir hanya menatap iba dari center mirror taxi.

"Aku kangen banget sama dia, tapi malam ini, aku berharap aku ngga pernah ketemu sama dia, Pak. Aku harap ini cuma mimpi buruk buat aku", lanjut Arisha dengan senyuman getir yang ditunjukannya.

"Yang sabar ya, Neng. Mau gimana lagi, ini udah takdir dari Tuhan. Mau ngga mau kita harus terima itu semua", ucap Bapak sopir menenangkan. Sementara Arisha hanya menanggapinya dengan anggukan lemah. Sang sopir terlihat menarik napas panjang lalu menghembuskannya tak kalah sesak dari Arisha.

Ditengah keheningan yang berlangsung, ponsel Arisha berdering. Menampilkan nama 'Bank Nasional Ica' di layarnya. Siapa lagi jika bukan Bunda.

"Halo...", ujar Arisha pelan.

"Nak, kamu dimana? Kita udah nunggu disini hampir 1 jam loh", protes sang Bunda.

"Maaf Bun. Arisha sama Rafa kayaknya ngga bisa kesana malam ini", jawab Arisha.

"Loh kenapa?", tanya Bunda.

"Dean Bun, Dean kecelakaan", jelas Arisha yang kemudian di ikuti isakan yang begitu perih.

"Astaghfirullah, Ya Allah. Terus sekarang kamu dimana? Bunda mau susulin kamu sama Dean", panik sang Bunda mendengar kabar menyedihkan itu.

"Ica sekarang mau ke RS Permata, Bunda kesana aja langsung", titah Arisha.

"Oke, Bunda sama Orang tuanya Rafa kesana sekarang", ucap Bunda.

"Bun....", panggil Arisha lagi dari seberang telepon.

"Iya sayang?", ujar Bunda menanggapi.

"Ica ngga tau Rafa pergi kemana, dia tadi takut liat darahnya Dean, terus dia pergi. Ica ngga sempat ngejar dia", jelas Arisha. Sementara Bunda terdengar menghela napas begitu panjang disana.

"Yaudah sayang, kamu bawa Dean aja. Untuk Rafa, nanti biar Ayah kamu ikut nyari bareng Orang tuanya Rafa, ya? Bunda matiin dulu, Bunda mau hubungin Mamanya Dean tentang ini"

"Iya Bunda, nanti hati-hati di jalan", ujar Arisha sebelum panggilan benar-benar diakhiri oleh sang Bunda.

30 menit kemudian, jam di ponsel sudah menunjukkan pukul setengah 10 malam. Orang tua Dean, Shania-Bunda dari Arisha, serta Arumi dan Eliza baru saja sampai di Rumah Sakit. Tangis Ana-Mama Dean-pecah ketika melihat Arisha di ujung koridor dengan dress putih yang kini dipenuhi darah hingga bagian depannya berubah warna menjadi kemerahan. Bahkan bau anyir begitu terasa ketika sedikit demi sedikit mereka mendekat pada Arisha.

"Arisha", panggil Mama Ana. Arisha menoleh cepat hanya untuk menyadari mata sembab orang-orang yang kini menatapnya.

"Dean mana nak?", tanya Mama Ana.

COIN || Dean Abimana PutraWhere stories live. Discover now