12#BLONDE

109 68 104
                                    

Pagi yang temaram, mentari bahkan sama sekali tak menampakkan batang hidungnya di langit Depok. Namun tak setenang cuacanya, dibawah pohon rindang di taman kampus, Arisha terlihat berjalan kesana kemari dengan gelisah. Surai hitamnya dibiarkan tergerai begitu saja sembari sesekali tergerak karena angin yang menyapu wajahnya. Beberapa kali gadis itu mengecek ponselnya, mengetikkan sesuatu disana, menempelkannya ke telinga, lalu kemudian mendecak pelan.

Dalam perjalanan pulang semalam, Arisha menimbang apakah dirinya memang harus mengakhiri semuanya dengan Dean atau tidak. Benar, seseorang yang mendengar obrolan Eliza dan Dean semalam adalah Arisha. Namun Arisha tak mendengar semuanya, hanya pada bagian ketika Dean meminta Eliza untuk tetap tinggal disampingnya.

Jujur saja, gadis itu masih mencintai Dean dan tidak ingin terus menerus berada dibawah ancaman Rafa. Tapi Arisha tidak ingin hal seperti beberapa tahun lalu terulang kembali. Dimana Ayahnya kehilangan pekerjaan karena Rafa. Ditambah fakta bahwa mencari pekerjaan dikota besar seperti Depok sekarang cukup sulit. Lalu dengan berat hati dan tarikan nafas yang dalam, Arisha membuat keputusan. Arisha benar-benar akan merelakan perasaannya. Arisha akan mengakhiri semuanya, dan mengesampingkan egonya. Untuk saat ini saja. Anggap saja sebagai bentuk baktinya pada Ayah dan Bunda yang selalu menyayanginya selama ini.

Namun, keyakinan semalam yang ia buat, luluh lantak pagi ini. Dean tidak bisa dihubungi sejak semalam. Dan sekarang, pria itu tidak masuk untuk jadwal kelasnya. Berkali-kali Arisha menelepon, namun sama sekali tak ada jawaban.

Hingga bumi yang sudah berotasi hingga malam hari tiba, Arisha masih berusaha menghubungi Dean. Bukannya gadis itu sangat bersemangat untuk mengakhiri hubungannya, jujur saja Arisha enggan. Tapi karena Rafa yang selalu mengiriminya pesan singkat untuk mengingatkan Arisha tentang kesepakatan mereka, itu membuatnya sangat terusik. Yang Arisha pikirkan sekarang hanyalah bagaimana dia bisa terlepas dari iblis berwajah tampan bernama Rafa itu.

Jadi, sekali lagi Arisha menghubungi Dean. Matanya membelalak menyadari kali ini panggilannya terhubung.

Dean POV

Drrttt....Drrrtt...

Ponsel Dean berdering semenjak pagi, seolah tak membiarkan sang empunya untuk beristirahat dari dunianya sejenak. Jadi tanpa peduli siapa yang menghubunginya, Dean menonaktifkan ponselnya.

"Akhh pasti si Danan yang telepon. Berisik banget sih, ngga tau apa gue lagi sakit", kesal Dean sembari mematikan ponselnya tanpa melihat siapa yang sebenarnya menghubunginya. Sejurus kemudian, dilemparnya kembali ponsel itu ke atas nakas.

Malam harinya, setelah istirahat dan mandi, Dean sedikit merasa lebih baik. Dengan langkah gontai, pria itu mengambil ponsel yang pagi tadi ia lempar sembarangan itu.

Qianzy♡, 17 panggilan tak terjawab.

"Qianzy? Jadi, tadi pagi itu dia? Akhh", baru saja Dean hendak merutuki dirinya sendiri, ponselnya kembali bergetar.

Itu panggilan dari Qianzy nya lagi. Tanpa ragu, Dean menerima panggilan itu. Dean sangat ingin menceritakan tentang kondisinya yang sebenarnya. Tidak enak saja, jika Eliza tau penyakitnya tapi Arisha yang notabene-nya merupakan tunangannya justru tidak tahu menahu.

"Halo, sayaaanggg. Kangen ya pasti? Cieee...", suara parau Dean yang sedikit memekik menyambut telinga Arisha dari sisi telepon.

"De, ada yang mau aku omongin sama kamu. Bisa ketemu?", tanya Arisha dari sisi yang lain. Gadis itu kini tengah menggenggam jaket prada-nya erat-erat. Menyalurkan semua perasaannya yang kini tengah carut-marut.

"Bisa kok, kebetulan aku juga mau cerita sesuatu ke kamu. Aku jemput ya?", tawar Dean.

"Ngga usah, langsung ke taman kota aja. Nanti Aku share lokasinya", jawab yang perempuan.

COIN || Dean Abimana PutraKde žijí příběhy. Začni objevovat