01 | 𝚛𝚘𝚗𝚊 𝚑𝚊𝚗𝚐𝚊𝚝 𝚙𝚊𝚐𝚒

681 77 34
                                    

✒ 01 | 𝚛𝚘𝚗𝚊 𝚑𝚊𝚗𝚐𝚊𝚝 𝚙𝚊𝚐𝚒 

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

✒ 01 | 𝚛𝚘𝚗𝚊 𝚑𝚊𝚗𝚐𝚊𝚝 𝚙𝚊𝚐𝚒 

༘ 𖤓⋆

"KAL, apa yang waktu kita berdiri doi tidur, waktu kita tidur doi malah berdiri?"

Kala sudah sampai di peregangan bagian pinggang saat Gema muncul di teras, rapi dengan setelan polo shirt hitam dan celana selutut abu-abu. Rambutnya disisir apik, tas punggung hitam tersampir di sebelah bahu. Pemandangan itu mengingatkan Kala bahwa mereka tidak akan sarapan bersama pagi ini.

"Apa tuh?" balas Kala. Ketika ia menatap Gema, teman kontrakannya itu mengangkat sebelah kakinya dan menggerak-gerakkan ibu jarinya.

"Jempol kaki, lah!" Senyum iseng yang ikut menggelayut di kedua mata Gema terbentang lebar.

Menatapnya sesaat, Kala memaksakan tawa singkat. Gerakan peregangan berlanjut ke bagian kaki. "Suka-suka lo deh, Gem."

Gema terkekeh lebar. Mengisi kesunyian kontrakan di hari yang masih belum membuka mata. Entah sudah berapa tebak-tebakan yang Gema lontarkan dan sudah berapa tawa kering yang Kala bebaskan paksa. Mereka adalah dua dari tujuh orang yang terbiasa bangun pagi-pagi sekali di kontrakan bernuansa putih-krem yang cukup asri itu—Kala dengan rutinitas jogingnya, sementara Gema memang sudah biasa tidak tidur setelah subuh.

Selagi membiarkan Gema berpuas diri, Kala merasakan kejanggalan pada tebak-tebakan kawannya tersebut. Jempol kaki? Tidur? Berdiri? Kala tengah menekuk tungkai membentuk sudut siku-siku sempurna saat akhirnya menemukan letak keanehannya. "Eh, tapi, bukannya jari kaki lainnya juga gitu, Gem? Bukan cuma jempol doang?"

Gema yang barusan menyalakan mobil untuk memanaskannya, menyembul dari pintu yang terbuka. "Lah iya ya? Revisilah kalo gitu. Jari kaki, lah!"

Kala mendecak. "Gue kasih nilai D."

"Yah, pelit amat... Jangan jadi dosen dah lo, Kal. Kasian mahasiswa lo di masa depan. Apes." Gema lalu masuk kembali ke mobil, tapi sedetik kemudian menyembul keluar kembali. "Kal, tapi, bagusan 'Jempol kaki, lah!', ya nggak sih? Lebih mantep gitu dengernya, kek ini nih tebak-tebakan serius. Ya nggak?"

Bola mata Kala tertuju ke atas, berpikir. "Setuju sih. Kerenan jempol."

"Oh ya! Gue punya satu lagi! Kenapa matahari tenggelem? Coba, tau nggak lo."

Menamatkan kegiatan peregangan, Kala berjalan ke arah pagar. Melintasi pot-pot tanaman pakis yang tergantung di teras, menapaki paving yang dikerumuni rumput-rumput hijau basah sisa embun.

"Eeeeh, jawab dulu kali, Kal! Kenapa matahari tenggelem?"

Terdengar derit pagar. "Karena Allah berkehendak."

"Mashaa Allah. Siap, Ustad."

"Dah ya, gue pergi. Lo tiati nyetirnya, Gem. Salam buat eyang lo, ya!"

"Lo nggak mau tau jawaban benernya? Kal? KAAAL!?"

always, the sun staysTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang