17 | 𝚔𝚊𝚛𝚎𝚗𝚊𝚗𝚢𝚊, 𝚒𝚊 𝚋𝚎𝚛𝚍𝚎𝚝𝚊𝚔

136 20 17
                                    

✒ 17 | 𝚔𝚊𝚛𝚎𝚗𝚊𝚗𝚢𝚊, 𝚒𝚊 𝚋𝚎𝚛𝚍𝚎𝚝𝚊𝚔

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

17 | 𝚔𝚊𝚛𝚎𝚗𝚊𝚗𝚢𝚊, 𝚒𝚊 𝚋𝚎𝚛𝚍𝚎𝚝𝚊𝚔

༘ 𖤓⋆

"MAMA nggak nanya kabar anak bujang Mama yang paling ganteng ini dulu gitu? Hati mungil ini tersakiti loh!?" Vokal khas Aska menembus pintu kamar Kala. Lantaran dinding yang tidak terlalu kedap dan suara keras Aska, Kala bisa mengira-ngira bahwa panggilan bersama Tante Ray sudah berlangsung selama lima menit.

"Aduh... Ngapain Mama nanya kamu, Bang. Orang kamu hampir tiap hari ngirim foto-foto nggak jelas, laporan lagi ngapain tanpa Mama minta."

Tiba-tiba kenop pintu Kala dibuka. Dengusan tidak terima dan omelan Aska selanjutnya tidak lagi teredam tembok. "Mama anggep itu nggak jelas!?!?! Auch, nyeri apa ini di dada Abang..." Masuk bersama ponsel yang diposisikan di depan wajah, Aska langsung melompat ke kasur Kala dan berbaring di sebelahnya. Kala sedikit kaget begitu layar ponsel diarahkan padanya. "Nih, anak kesayangan Mama nih," gerutu Aska.

Kala menyampingkan buku yang tengah ia baca, beralih pada satu paras familier di layar. Seorang wanita paruh baya yang matanya menyipit saking lebarnya tersenyum. "Kalaaaa! Anak ganteng~ Gimana kabarnya? Baik-baik, kan? Aska nggak ngerepotin, kan?"

Aska buru-buru mengambil alih ponsel lagi. Merengut marah. "Bentar, bentar! Ma, nggak kebalik tuh pertanyaannya?"

Kala merebut ponsel Aska dari empunya dengan tenang. Balas tersenyum sambil menyahut, "Baik, Tante. Tante sendiri gimana? Sehat-sehat, kan, Om Oza sama Hirsa juga?"

"Sehaaaat semua, dong! Om Oza lagi hobi-hobinya mancing tuh, udah pergi dari pagi tadi. Kalo Hirsa ... Hirsaaa! Nak, sini dulu, ini ada Abang Kala!"

"PRINCESS-NYA ABANG MANA NIIIIH?" Tak punya kendali pada ponselnya, Aska mendempetkan kepalanya ke bahu Kala, mendorong wajah Kala dari layar.

Tak lama, terdengar derap lari kaki lalu muncul serupa wajah versi feminin dari Aska. Awalnya bola mata itu bulat bersemangat sebelum kerut di keningnya mengambil alih. "Bang Kala ...?" tanya gadis kecil itu heran. "Mana, Ma? Muka Bang Aska semua ini?"

"Ih, Kaa, mana Kala-nya?"

"Nih, nih, nih!!!!!!" Aska kembali menggerutu. Menodong ponsel kembali ke arah Kala. "Dua kali banget nih gue ditolak hari ini."

Kala terkekeh, lebih meledek Aska yang energinya tercurah-curah. Ia pun menyapa Hirsa, adik Aska yang terpaut delapan tahun dari mereka. Dulu, kalau sedang kumpul keluarga atau ada giliran kunjungan ke rumah, Hirsa selalu menempel dan mengekori ke manapun Kala pergi. Entah untuk menghindari kakak kandungnya--yaitu Aska--yang terlalu clingy atau sengaja membuat Aska cemburu.

Percakapan mengalir cukup lama di antara empat muka yang berdesakan di layar. Tawa dan raut sumringah seringkali mereka tukar silih berganti. Hingga Hirsa kembali pada tugas mewarnai yang ia tinggalkan sebentar, lalu Aska melenggang dari kamar, menyisakan Kala dan Tante Ray yang terpisah oleh layar biru.

always, the sun staysTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang