Tiga

406 71 3
                                    

Vera Sanjaya adalah perempuan berusia pertengahan tigapuluhan dengan tubuh mungil dan ramping. Khas seorang perempuan yang banyak menghabiskan waktunya di kelas gym dan zumba.

Mukanya cerah, pembawaannya ramah, bahkan cenderung ceriwis. Bodinya yang ramping, sempat membuatku merasa insecure. Terlebih kulitnya yang bening tanpa minyak membuatku meringis.

Semenjak bobotku terus ke naik, kulitku seperti ladang penghasil minyak. Badan juga jadi cepat bau karena produksi keringat lebih melimpah ketimbang produksi ASI para ibu- ibu. Hal itu yang membuatku kadang agak segan kalau ada meeting full team di kantor.

Di saat rekan- rekan kerjaku pada wangi semua, hanya aku yang bau asem. Kalau kusemprot parfum berlebihan, yang ada baunya malah minta ampun anehnya. Bikin mabok!

"Maaf, nih Mbak Fen," ujar Vera, setelah memindai tubuhku dengan tatapan seperti seorang dokter bedah yang menemukan pasien potensial,   membuatku sempat merasa ngeri dengan tatapannya yang setajam laser itu.

Kami sudah duduk di tempat ini selama hampir lima belas menit. Obrolan tentang konsep pesta pernikahan sudah selesai. Mulai dari tempat acara,  katering, MUA, dekorasi, band, suvenir, gaun,  hiburan, MC, hingga undangan.

Aku berharapnya setelah ini bisa langsung cabut ke mana kek, asal cepat- cepat pergi dari orang ini. Aku benar- benar merasa sangat terancam kalau melihat caranya memandangku.  "Kalau boleh nanya bobot Mbak Fenita itu berapa ya?"

Aku melongo mendapatkan pertanyaan seperti itu. Bukankah itu diluar konteks? Apakah Vera ini semacam instruktur gym bersertifikat khusus yang menangani lost weight? Sehingga nggak cukup hanya aku yang memprospek dia. Malah sekarang aku diprospek balik.

Dan tujuannya minta ketemuan di McD itu apa ya? Mau ngeledek gitu?

"Yah, kayaknya terakhir saya timbang baru sembilan puluh tujuh," jawabku agak malas, sambil garuk- garuk kepala. Mungkin sekarang ini penampakanku sudah lusuh banget. Sebab, kurasakan kulit kepalaku juga mulai berminyak. Mudah- mudahan saja ketombeku nggak berguguran seperti salju bulan Desember di Inggris.

"Wah," ujarnya seraya memasang mimik serius di wajahnya yang kalau kuamat- amati agak mirip kucing itu.

"Betah banget ya? Apa nggak kesusahan waktu geraknya, Mbak? Dulu saya aja baru 80 rasanya udah kayak bola. Nggak bisa jalan. Bisanya menggelinding!"

Aku berjengit. Jangankan jalan, napas aja susah. Tapi kebiasaan ngemil sambil nonton drakor sama Netflix itu susah banget buat ditinggalin. Apalagi kalau serialnya lagi seru. Pokoknya, yang sedih- sedih lewat deh!

Buktinya aku saja bisa lupain si buaya  satu itu. Asal jangan disengaja baca mantra kuchiyose no jutsu, si buaya buntung   sialan itu nggak bakalan muncul tiba- tiba juga.

"Gimana kalau Mbak Fenita gabung sama tim saya. Sanggar senam Havera. Dijamin bisa turun delapan kilo dalam satu bulan!"

Aku mengernyit mendengar ini. Setengahnya juga tersinggung banget.

Oke, orang- orang terdekatku boleh saja bilang kalau aku ini gemuk, gembrot, gendut, atau kasur air, pesut Mahakam. Terserah. Toh yang panggil aku dengan sebutan- sebutan itu paling orang- orang yang kenal dekat sama aku. Sahabatku si Disa saja nggak pernah lho panggil aku begitu.

Ini yang baru ketemu beberapa kali saja sudah seenaknya ngomong begitu sih. Untung aku orangnya easy going  gitu. Kalau aku gampang ngambek gimana dong? 

Biarpun setiap Minggu jarum timbangan selalu geser ke kanan melulu, aku nggak pernah putus asa. Apalagi sakit hati!

Tapi yang ini? Biarpun cara Vera mengatakannya bisa dibilang cukup sopan, tapi hatiku rasanya kok cekit- cekit ya. Semacam ditusuk- tusuk jarum gitu ya? 

Fat And Fabulous Where stories live. Discover now