Lima

344 58 1
                                    

Mobil yang dibawa Firman malam itu adalah Kijang Innova warna hitam yang tampak masih great.  Aku mengernyit memberikan tatapan menuduh.  "Lo nyolong punya siapa nih. Masih kinclong gini. Dari showroom ya? "

Dia mencibir. "Lo mah. Ditolongin juga responnya gitu. Nyenengin dikit kek."

"Oh, lo nggak ikhlas nih ceritanya ngajakin gue?"

"Kok jadi ribut sih?" dia garuk- garuk kepala. Rambutnya yang gondrong itu kali ini diikat jadi satu di belakang kepala. Jadinya lebih rapi.

Aku mengangkat bahu. Lalu naik ke dalam mobil.

***

Setiap pergi bareng Firman, aku nggak  perlu mengkhawatirkan  apapun. Firman adalah tipe cowok yang easy going. Diajakin ke mana aja jarang komentar. Nggak  pernah cerewet, apalagi ngeluh  kalau aku keluar- masuk konter kosmetik, atau pernak- pernik cantik sampai kaki gempor.

Meskipun pada akhirnya nggak  satupun barang yang kubeli, dan kami selalu berakhir di Pepper Lunch. Sama seperti lima tahun yang lalu.

"Kedoyanan elo tetep di sini, ya?"

"Habis cuma di sini yang cocok dan sudah pasti enak." Aku mengangkat bahu. Pepper Lunch selalu jadi pilihan saat aku mati gaya atau buntu nggak tahu harus makan apa, selain McD sih.

"Lo sendiri nggak sibuk ya?"

Firman hanya garuk- garuk kepala sambil ikut ngantri makanan. "Udah tadi sibuknya kok. Sekarang lagi gabut aja." Ujarnya dengan nada bosan. 

"Gabut?" ulangku heran. "kayak lo masih sempet  gabut aja. Kebanyakan duit kali lo,"

"Usaha gue nggak segede itu kali. Cuma percetakan sama cuci mobil motor. Biasa aja. Kalau lagi rame ya sibuk. Sekarang ini kan lagi gini- gini aja. Rencananya gue mau melihara kambing apa domba gitu. " Katanya dengan tatapan menerawang.

Sementara aku sudah sibuk mengaduk- aduk nasi black pepper yang hampir aja gosong.

"Lo nggak bisa lihat duit nganggur ya?"

Firman cuma garuk- garuk kepala dengan muka memerah. "Katanya juga ada bisnis pakaian?"

Dia mengangguk. Aku mulai suapan pertama. " Ibu tuh gue minta resign dari konveksi. Sekarang jahit buat toko pakaian. Bukan cuma gue yang punya modal. Join sama teman SMA gue sih." Firman mulai memindahkan dagingnya ke hot plate ku. Kini jumlah daging di piringku jauh lebih banyak ketimbang nasinya sendiri.

Meskipun bentuk tubuhku sudah sedemikian besarnya, Firman jarang banget berkomentar tentang menyuruhku supaya diet atau apa. "Gue nggak terlalu suka daging," ujarnya ketika kepalaku menengadah dan menatap ke arahnya dengan penuh tanya.

Lagi asyik makan terdengar suara seruan yang bikin aku kesal. Sampai hampir keselek sisa daging. Untung aja Firman buru- buru nyodorin minuman.

"Mbak Fen!" wangi parfum beraroma manis langsung menusuk indera penciumanku. "Nggak nyangka ketemu di sini!" seru suara mendayu yang dibuat- buat itu. Aku langsung mendongak salah tingkah.

Sepasang penghianat kini berdiri di hadapanku. Dessy dalam balutan dress biru kobalt menggandeng mesra lengan Erwan yang juga masih pakai kemeja dan celana hitam. Pakaian yang biasanya dikenakan saat dia kerja.

"Iya nih. Laper." Jawabku asal. Dalam sekejap, aku  merasa nggak enak. Kakiku bergerak- gerak di bawah meja. "Eh, ada Bang Firman juga. Kok lama nggak kelihatan, Bang. " Aku melengos. Dessy mulai beraksi.

Tapi Firman cuma nyengir bego. "Iya nih. Sibuk kerja. Pacar lo?" tanya Firman balik.

Dia memang nggak tahu kok kalau cowok yang lagi digandeng Dessy itu delapan bulan yang lalu masih jadi pacarku. Aku sendiri malas ngasih tahu.

Fat And Fabulous On viuen les histories. Descobreix ara