Sembilan

335 57 2
                                    

Aku akhirnya memesan tenderloin steak. Lagi pengin banget soalnya. Emang begini kalau lagi stes. Bawaannya lari ke makanan.

Dan seperti biasa, Firman yang emang sejak dulu doyannya sama warteg kalau nggak gitu nasi Padang, menyerahkan sebagian roasted chicken with rosemary nya padaku sambil menggerutu nggak jelas. "Gue kira rasanya sama kayak ayam bakar yang di rumah makan Padang itu. Entah ya, selera gue kok tetep yang banyak bumbunya. "

Aku mendengus. "Lo emang susah lidahnya diajak maju."

Bukannya ngambek, dia malah mengeluarkan seringai iseng. "Habis ini mau ke mana lagi? Balik kantor?"

"Enggak," ujarku singkat. Piring steakku saja ini belum kosong. Harganya memang bikin meringis. 350 ribu untuk sekali makan. Tapi dua Minggu ke depan sudah pasti aku kapok makan daging.

Dan untung saja perginya sama Firman yang orangnya nggak banyak komentar. Coba kalau dulu pas aku masih bareng Elwan. Aku pesan makanan yang harganya di atas seratus ribu aja matanya udah melotot. Waktu aku bilang aku bayar sendiri, dia malah ngambek.

"Kamu itu jadi perempuan jangan terlalu boros dong, Fen. Mendingan uangnya kan ditabung. Kalau kita nikah itu kebutuhannya banyak. Kok kamu malah enteng- enteng aja buang duit segitu buat sekali makan. Ibuku aja duit segitu bisa buat makan Dua hari. Dan lagi kamu harus mulai belajar masak deh kayaknya. Lihat kamu makan di luar sampai kalap begini, bisa- bisa gajiku nggak bakalan cukup buat sebulan!"

Setelah Erwan ngomong gitu aku pasti feeling guilty banget. Udahannya besok- besok aku nggak berani jajan makan siang di luar. Aku nekat bawa bekal yang hanya berupa bihun kecap dan telur dadar.

"... Fen ... ngelamun pasti. Mikirin apaan sih?"

Aku menatap daging berwarna kecokelatan dengan tingkat kematangan medium itu dengan tatapan nanar. Rasa bersalah bercokol dalam dada. Apa iya aku boros?

"Fen, mikirin apa?"

"Hah?"

"Lo tuh. Masa lo lihatin doang makanannya. Tar kalau udah dingin nggak enak. Makan gih. Tuh lo juga punya tugas habisin punya gue. "

"Menurut lo seporsi steak harga segini apa nggak terlalu mahal?" aku berbisik mendekatkan wajah ke wajah Firman. Takut pramusajinya yang lagi wara- wiri itu dengar kata- kataku.

"Ya kalau lo makan, lo habisin nggak mahal. Kan nggak setiap hari lo ngabisin duit sebanyak itu buat makan steak kan?" Firman merampas garpu dan pisau dari tanganku, kemudian mengiris dengan satu irisan besar, menusuknya dan memasukkannya ke dalam mulut. "Rasanya juga worth it kok. Dagingnya tebel. Matengnya juga pas. Side dish nya juga oke. Salad, sayurnya juga enggak pelit. Gratis lemon infused water segede gentong gitu. Kenapa sih? Dulu lo nggak pernah mikirin ginian kalau lagi makan. "

Firman menautkan alisnya yang lebat mirip ulat bulu itu. Aku tertegun. "Udah deh buruan dimakan. Habis ini mau pergi ke mana lagi gue anterin."

***

Rumah mendadak heboh karena melihat kedatangan Firman yang sudah lama banget nggak muncul. Ibu sampai meluk Firman dengan penuh haru. Macam lelaki itu adalah anak bujang ibu yang sudah lama hilang dan kini kembali pulang.

Fira malah berusaha memonopoli Firman. Pake sok- sok an nanya tentang tugas kuliah segala! Padahal setahuku Firman itu DO semester enam. Katanya lebih suka cari duit.

Manalah dia ingat tentang perilaku konsumen kalau dulu kuliahnya adalah teknik industri di Depok?

Aneh- aneh aja emang si Fira ini.

Tapi nggak heran sih. Sejak dulu Fira memang ngefans berat sama Firman. Baginya lelaki itu adalah superheronya. Penyebabnya adalah Firman jago main gitar, enak diajak ngobrol dan suka jajanin Fira di minimarket depan gang sana.

Fat And Fabulous Where stories live. Discover now