Enam Belas

121 22 0
                                    


"Apa nggak bisa dipikirin lagi, Em? Ini persiapannya udah kelar 80 persennya, loh. Dan duit DP udah jelas nggak bakal dikasih balik. Udah kubagi- bagi ke vendor. "

Buat membujuk Emma, aku bela- belain keluar modal banyak ngajak dia ketemuan di toko kue fancy yang ada di Mal premium kawasan Jakarta Pusat.

Hmmmmh, tenang, Fenita. Ini investasi. Bukan pengeluaran. Meski agak gimana gitu soalnya aku tahu, calon suami Emma ini memang persilangan antara buaya dan kampret! Yang minta dikebiri banget burung kutilangnya biar kapok!

Emma adalah jenis alpha female. Dia tahu persis apa yang dia mau. Dia memikirkan setiap tindakannya, reputasinya, dan juga masa depannya. "Tapi aku nggak sudi menghabiskan hidup sama pria macam itu, Fen. Kamu juga pasti ogah kan kalo menikah dan tahu, bahwa ujung- ujungnya pasti cerai. Karena aku nggak bisa noleransi perselingkuhan. Matre masih jauh lebih berguna. Nah ini? Mungkin suatu saat nanti kalo dia beneran selingkuhin aku dan membiayai perempuan itu, buntutnya, aku juga yang tekor!"

Aku mengangguk miris.

"Soal DP, nggak usah dipikirin. Nggak apa- apa kalo emang nggak bisa balik. Aku masih punya banyak waktu buat ngumpulin duit."

Mau nggak mau, aku salut pada pemikiran wanita satu ini. Dia benar - benar dewasa banget. Kalau aku yang  amit- amit naudzubillah mengalami hal tersebut, pasti sudah kusantet calon suami nggak tahu diri begitu. Udah dipungut dari kenistaan masih nggak tahu diri juga!"

" Terus, terus, ke depannya kamu mau gimana, Em?"

"Ya kerjalah, Fen." Emma yang sejak tadi menampilkan wajah tegar, kini tersenyum lelah menanggapi pertanyaanku.

"Ya emang nggak gampang sih, ngelaluin ini semua. Lebih- lebih keluarga itu nganut paham patriarki banget. Mama minta aku ngalah aja. Katanya, laki emang suka begitu. Suka main- main sebelum benar- benar settle down. Tapi aku mikirnya gimana mau hidup tenang kalo yang kunikahi malah bikin aku terancam. Aku pasti bakal terus hidup dalam kecurigaan kan? Dan udah kupastikan, itu bakal nggak enak banget . Jadi.... ya beginilah!" pundak kecil berbalut blazer dari Balenciaga itu terangkat acuh tak acuh.

Aku hanya menatapnya, tanpa tahu apa yang sebenarnya kupikirkan. Tapi yang jelas, aku nggak bisa berbuat apa- apa untuk saat ini. "Semoga kamu dapat ganti yang lebih baik deh, Em."

****

Saat kembali ke Stardust dengan langkah gontai, mataku menangkap pemandangan janggal di halaman bangunan tiga lantai itu.

Mazda hijau bertahta di sebelah carport. Aku tahu siapa pemiliknya. Tapi mengapa orangnya sampai nyasar ke mari?

Aku melangkah masuk bertepatan dengan si pemilik Mazda itu ke luar. Kami bertatapan sebentar. Kupalingkan wajah karena entah mengapa aku kok merasa sangat jengah lama- lama ditatap oleh sosok berkaus putih yang dilapisi jaket denim warna biru, celana jin dan sepatu keds. Rambutnya makin gondrong. Matanya tajam mengamatiku.

"Baru balik lo?"

"Heeh,"

Dia cuma mengangguk- angguk sebelum mengangkat bahu dan lenggang kangkung tanpa pamit.

Aku melongo. Sudah? Begitu saja?

"Ngapain lo bengong di tengah pintu gitu?" tahu- tahu, Deo sudah muncul saja.

"Ngapain tuh Firman ke mari?"

"Lo ngarep kalo dia cariin elo?" Deo kacrut itu menelengkan kepala, alisnya terangkat tinggi dan mimik wajahnya minta ditabok sandal bekas nginjek tahi kuda banget!

"Enggak tuh!"

"Halah, ngaku aja deh lo! Pake sok denial segala!" sekarang si Kacrut satu itu berkacakpinggang. Gayanya sok petantang- petenteng. Apa banget deh!

Fat And Fabulous Waar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu