Lima belas

144 24 1
                                    


Belakangan, setelah kudamprat dalam perjalanan pulang dari klinik waktu itu, Firman nggak muncul- muncul lagi di Stardust.

Sebenarnya, aku masih merasa sangat bersalah karena mengomel pada pria itu tanpa sebab. Padahal kan dia cuma membantuku. Kenapa aku yang malah jadi sewot sendiri? Kalo dipikir- pikir, hubunganku sama Firman itu enggak selalu mulus. Dulu pun dia sering banget godain aku. Bukan goda- goda manja gitu sih. Cuma yang receh- receh aja.

Misalkan nih, aku lagi jalan sama Kiana sama Disa, dia selalu bilang, "Ini kok bawa- bawa airbag mau ke mana?"

Bercandanya memang fisik banget sih tuh orang. Tapi tetep aja kalo nggak ada dia tuh rasanya kantor nggak rame.

Alhasil, seharian itu mood ku amburadul. Dipicu rasa bersalah dan membuat semua pekerjaan yang kulakukan  nggak ada yang benar.

Seperti siang ini, di saat seharusnya aku mendampingi seorang klien buat test food di restoran langganan Stardust, di bilangan Bintaro.

Emma adalah seorang banker berusia 28 tahun, yang akan menikah dengan Tion yang juga seorang banker, namun di bank yang berbeda di Singapura.

Jadi ceritanya ini mereka LDRan. Sementara Emma dan mamanya asyik mencoba- coba makanan, kuperhatikan sejak tadi, Tion malah nguprek handphone dia. Sambil senyum - senyum nggak jelas gitu. Otomatis, radarku langsung berdiri.

Tapi kalau aku action sekarang, bisa- bisa pernikahan yang persiapannya hampir 80 % kelar ini malah batal. Rugi dong bandar! Belum lagi nanti pasti kena tegur Mbak Dara.

Tapi kalau dibiarin aja, jatuhnya dosa dong. Aku tahu kalau calon suami mempelai wanita lagi gesrek begini, malah diem- diem bae. Itu namanya aku nggak punya solidaritas sesama perempuan dong!"

Duh, jadi dilema nih.

Kalau dilema kudu milih antara Cha Eun Woo sama Edward Chen sih, masih keren lah ya. Nah ini?

Tapi rupanya malaikat lagi lewat, tanpa kuberitahu Emma, ternyata perempuan itu sudah tahu sendiri. Dan lagi ngelirik sinis dan tajam ke arah pria yang sebulan lagi bakal jadi suaminya itu. Bencana!

****

"Batal nikah?!" aku menjerit seperti sedang melihat seekor tikus raksasa atau babi hutan yang mendadak camping di depan Stardust. "Ini betulan apa lo cuma ngibul, ya?"

"Ish," Kay menghentakkan kakinya ke lantai mirip balita. Memang sih, segalanya tentang Kay serba kekecilan. Wajahnya kecil, badannya kecil, suaranya itu malah melengking kecil banget. Tapi dia punya tenaga seperti kelinci Energizer. Lincah banget. Berisik banget. Pecinta musik Indie, terutama yang berbau vintage. Lihat aja tuh gaunnya yang mirip sama personel White Shoes And The Couple Company.

"Kayak gini ngapain sih aku pake bohong, Mbak!"

"Nggak bisa, nggak bisa!" mendadak aku terkena serangan panik. Tubuhku kembali menggelosor di kursi. Kuraih tumbler raksasa yang termangu di sudut meja. Kutenggak isinya hingga hanya nyaris tersisa setengahnya saja. Padahal, biasanya aku nggak begitu suka air putih. Soda jauh lebih menyenangkan. Dan bisa membuat tubuh semakin menggembung juga!

"Mbak! Mbak Fenita!" Kay langsung menghambur mendekati kursi. Rasa pusing langsung melanda tanpa ampun. Ini gila sih. Batal? Ini udah keluar duit banyak mana bisa batal?

Sementara aku berusaha untuk mencari jalan keluar, suara Kay yang mirip banget sama Jeng Kellin itu bikin kepalaku tambah mumet saja. "Mbak! Lo nggak mati, kan? Aduh, jangan mati dulu dong!" Kay dengan hebohnya mengguncang- guncang tubuhku yang sebesar ikan pesut Mahakam ini.

"Panggilin Disa, cepet!"

****

"Wah, wah!" sambut Iwan dengan senyum isengnya. "Tumben ke sininya malem? Sibuk banget nih ibu bos?"

Aku mencibir sengit, lalu duduk. Sementara Disa tersenyum sekilas pada si cowok tengil keriting itu. "Mau pesen apa? Ayam geprek jumbo dua porsi? Tiga porsi?"

"Nggak." Aku melambai jumawa. "Pesen jus mangga aja. Yang gede." Kemudian menoleh ke arah Disa. "Elo pesen apa, Dis?"

"Jus apel aja deh."

Alis lebat semak belukar milik Iwan melengkung tinggi- tinggi. Agaknya dia heran, karena biasanya aku kan nggak tahan untuk nggak menyerbu dua porsi ayam geprek jumbo. Ini udah jam delapan malam, yang bener aja!

Iwan pun ngacir ke belakang. "Kok hari ini nggak lihat Mas Firman ya, Mbak?"

"Nggak tahu," aku langsung manyun. "Minggat kali. Nyangsang di tiang jembatan Tomang barangkali. Udah deh kagak perlu balik lagi. "

Disa tersenyum dikulum. Anak ini memang syar' i banget. Ketawanya nggak pernah ngakak. Kayak aku sama Kay gitu. Tapi, apa enaknya sih ketawa nggak ngakak gitu? Itu kan semacam mengeluarkan emosi dalam dada ya, kan?

"Jangan gitu dong, Mas Firman kan baik. "

"Alah, Dis, elo mah kang cilok juga lo kata baik!" dengusku sebal.

Ayam geprek itu lengang. Hanya ada beberapa pelanggan yang duduk di pojok- pojok, yang keseluruhannya didominasi oleh mahasiswa.

Karena ayam geprek Jotos ini tergolong murah. Yang ukuran reguler plus nasi aja cuma 17 ribu sudah sepaket sama es teh. Yang porsi jumbo itu cuma 28 ribu udah sama es teh. Wajar kalau jadi tujuan mahasiswa yang mau makmur, alias makan murah.

Sayup- sayup, terdengar suara Fiersa Besari melantunkan Celengan Rindu. Rasanya memang syahdu banget vibe nya. Tapi aku malah teringat lagi sama Firman. Apa benar dia marah dan ngambek?

Iwan membawakan pesanan kami, bersamaan dengan kudengar bunyi motor yang berhenti dan parkir. Aku ingat dan hafal mati itu bunyi motor siapa.

Sekonyong- konyong, aku langsung menoleh. Sampai- sampai leherku nyaris terkilir. Dan benar saja. Sosok jangkung yang mengenakan jaket bomber warna hitam itu melangkah masuk sembari melepas helmnya. Ia melempar senyuman ke arah meja yang kami tempati.

Alvin emang ganteng banget.

Untuk sesaat lamanya, aku melupakan kegelisahan akibat memikirkan apakah Firman ngambek atau memang betulan nyangkut di tiang jembatan Tomang sana. Juga tentang Emma yang minta pernikahannya dibatalkan.

Napasku tercuri melihat senyuman di wajah yang sekilas mirip banget sama Rizky  Nazar itu. Rasanya mau terbang.

Coba kalau senyuman itu hanya buatku seorang? Persetan deh sama Firman!

"Jadi masalah sama Mbak Emma gimana, Mbak Fen?"

Mataku masih sibuk mengekori sosok yang kini sudah melangkah ke area dalam Geprek Jotos ini. Kita- kira, habis dari mana ya, si Alvin ini? Masa dari tempat pacarnya? Eh, emang dia punya pacar? Nggak heran sih sebenarnya. Dia cakep begitu. Yang cakep - cakep kan biasanya udah ada monyetnya yak!

Dari Celengan Rindu, Mas Firsa beralih menyenandungkan Pelukku Untuk Pelikmu. Aku udah berulangkali nonton film ini di platform streaming.

Andai aja aku yang jadi Rara dan Alvin yang jadi Dika....

Lamunanku seketika mengangkasa di udara malam Jakarta yang malam ini supergerah. Atau mungkin karena badanku kegendutan jadi rasanya gerah terus!

"Hei, Guys...." Dalam balutan kaus warna abu dan celana jin hitam. Muka bersih dan basah sehabis dicuci pakai facial foam, serta tubuh yang menguarkan aroma maskulin banget itu, Alvin menyapa kami.

Senyumannya nggak surut sedikitpun. Dia menarik kursi dan duduk di hadapan kami dengan kedua tangan yang bertaut santai  di atas meja.

Aku rasa aku bisa mengatasi segala permasalahan dalam hidup ini hanya dengan melihat senyuman itu.

Oh, My God. Andaikan aja dia ini jodohku. Sudah pasti barang tentu aku akan sangat bersyukur. Bakalan kupamerin ke sepupuku yang songong itu. Kalau aku bisa menggaet cowok yang lebih cakep!

*****



Fat And Fabulous Where stories live. Discover now