Enam

347 61 1
                                    

"Yang tadi nganterin itu siapa, Kak?" Fira mulai mode kepo nya. Dia mungkin lupa sama Firman. Dulu lelaki itu memang agak ceking. Sekarang agak berisi.

"Oh, Firman. Temen kerja. Kenapa emang?"

"Keren sih," puji si centil itu seraya mengawasi mobil Firman putar balik. "Kok kakak nggak pernah cerita punya teman sekeren itu?"

"Yaelah, dia sering ke sini dulu. Cuman dulu dia kurus gitu." Aku beranjak ke dapur untuk mengambil minum. Ibu keluar dari kamarnya yang ada di samping tangga menuju lantai dua.

"Baru pulang?" tanya ibu. Aku mengangguk. Lurus terus sampai ketemu dispenser. Mengambil gelas dari rak dan memutar keran dispenser, lalu meminumnya di tempat.

"Kebiasaan!" tegur ibu. "Minum itu mbok ya sambil duduk. Wong anak gadis kok minum sambil berdiri. Macam kuda saja kamu ini Fen... Fen..." Ibu menggeleng.

Di dapur, Mbak Is asisten ibu sedang mengiris tempe untuk orek, pelengkap nasi uduk yang akan dijual besok pagi. Ibu duduk di kursi makan.

"Kata Fira kamu belum jahitkan kebaya buat nikahan Dessy?"

Aku mendengus. Sepertinya orang- orang ini nggak peka sama perasaanku. Meskipun aku sudah rela diputus oleh Erwan, untuk kemudian melamar Dessy empat bulan yang lalu, tapi sebenarnya perasaanku tentu nggak baik- baik saja.

Siapa sih yang rela diputusin gitu aja setelah tiga tahun pacaran? Mana alasannya adalah karena suka sama sepupu yang lebih langsing? Memang apa salahnya jadi gendut?

Memang sih itu masalah selera. Mungkin juga karena Erwan baru sadar kalau yang langsing memang lebih enak dilihat.

"Kan masih dua bulan lagi, Bu." Kilahku malas- malasan. Dasar si Fira centil tukang ngadu! Gue gencet juga dia! Pakai acara ngadu ke ibu segala!

"Sini duduk," ibu menepuk kursi makan kosong di sebelahnya. Meja bundar berisi enam kursi ini sudah ada sejak aku kelas empat SD. Bapak membelinya dari salah satu bekas teman kuliahnya yang membuka toko furnitur.

Aku terpaksa mendudukkan diri di samping ibu. Padahal niat hati kepingin cepat- cepat naik ke kamar dan langsung rebahan. Sambil main Instagram atau nonton drama Korea. Atau apa kek. Yang jelas melakukan sesuatu yang bisa melipur kesedihanku.

"Kamu yakin sudah sanggup melepaskan Erwan buat nikah sama Dessy?" Ibu menatapku dengan sepasang mata sepuhnya yang teduh.

Ibu adalah pilar penyokong rumah ini. Tanpa ibu, mungkin rumah ini sudah berantakan. Kami pun pasti saling acuh tak acuh.

Ibu yang meskipun tegas, cerewet, tapi sayang sama kami, para anak- anaknya yang nggak berhenti bikin beliau susah.

Hingga di usianya yang berada di angka 56 tahun, ibu masih giat bekerja. Berjualan nasi uduk, nasi kuning, dan lontong sayur di depan gang sana. Setiap jam lima pagi sampai jam dua belas siang.

Ferdi, kakak sulungku sudah meminta ibu agar berhenti bekerja dan duduk manis di rumah saja. Tapi ibu selalu beralasan cepat bosan jika hanya duduk di rumah atau membantu di toko  alat pancing dan pakan untuk burung dan ikan milik bapak yang terletak di ruko dekat perumahan tempat tinggal kami.

Bapak punya satu orang karyawan bernama Rahmat.  Kalau Sabtu tempat itu dijaga sendiri olehnya, sementara Rahmat mengambil libur. Lelaki berusia 25 tahun itu sendiri adalah keponakan bapak yang juga punya hobi memancing dan melihara burung.

"Ibu tahu kalau dulu hubunganmu dan Erwan sudah berjalan lama. Wajar kalau kamu masih belum ikhlas," suara ibu yang empuk menyeretku kembali ke masa kini. "Tapi apa nggak sebaiknya kamu ikhlas saja dan mulai berusaha lagi. Kamu itu nggak jelek kok. Cuma perlu dikecilin aja itu badan. Bukannya ibu mau mendiskreditkan badanmu. Tapi memang kaya begitu kamu nyaman?"

Pertanyaan ibu sukses bikin aku manyun. "Kok ibu ngomongnya gitu sih?" kataku menye- menye. "Emang apa masalahnya sih kalau aku begini?"

"Sekarang ibu nanya deh, Fen," mata ibu menatapku lurus- lurus, "nyaman kamu dengan bobot seberat ini? Hampir satu kwintal begini? Nggak susah geraknya. Jangan lagi ini karena Erwan yang lebih suka Dessy gara- gara dia langsing ya, Fen. Tapi pikirin kesehatanmu. Obesitas itu bisa bikin banyak penyakit muncul!"

Aku tertegun.

Aku tahu itu memang seratus persen bener. Aku juga ngerasa kalau buat gerak saja sekarang rasanya susah. Ngos- ngosan. Tapi gimana? Aku itu kalau stres dikit saja larinya ke makanan. Setelah menghadapi kebawelan klien berikut keluarga mereka. Setelah gontok- gontokan dengan percetakan kartu undangan, katering atau gedung. Nguber- nguber mempelai yang merasa sibuknya ngalahin selebriti Hollywood, setelah itu aku butuh banget mengganti energiku dengan makanan.

Belum lagi kalau di Netflix ada serial atau film bagus. Buat nonton cemilan paling sehatku itu basreng lho. Terus pas ngawal acara pernikahannya klien, aku paling suka ngemil zuppa soup, nasi kebuli, sate kambing, siomay, dimsum--- pokoknya makanan itu bikin aku melupakan stres.

"Terus mesti gimana dong, Bu."

"Coba deh ikut olahraga. Ikut senam aerobik. Ibu punya langganan lho. Namanya Bu Uchi. Dia yang mimpin senam aerobik di kelurahan setiap Sabtu sore."

"Sabtu sore kan belum tentu aku nganggur, Bu. "

Ibu mulai mendesah frustrasi. Di keluarga ini tuh memang cuma aku yang paling kelebihan berat badan. Lihat ibuku! Dia bahkan nggak melar sedikitpun. Berat badannya hanya dikisaran angka empat puluh delapan, dengan tinggi 158 senti.

Ferdi? Dia sih sejak nikah perutnya memang maju dikit karena Mbak Intan kan jago masak. Tapi sama sekali nggak kelihatan gendut. Mungkin karena dia mirip ibu yang kata orang punya keturunan langsing.

Atau Fira yang sejak SMP disinyalir punya gangguan makan. Karena dia tuh kalau makan lamaaaaa banget. Udah gitu dikiiit banget.

Aku heran, gimana kehidupan sosialnya kalau makan saja dibatasin gitu. Padahal zaman sekarang kalau remaja pada ngumpul kebanyakan kan ya ke tempat makan.

Masa nongkrong bareng - bareng di kafe lah ibaratnya ya, terus nggak pesen  minum. Kan minuman di kafe tuh pasti banyak mengandung gula. Jus buah aja kandungan gulanya jauh lebih besar kalau dibandingkan semangkuk kecil nasi kalau jusnya ditambahin gula sama susu kental manis!

Dan mungkin justru di situlah masalahnya. Aku memang jarang makan nasi sih. Pagi- pagi sarapan gorengan di warungnya ibu. Nasi paling cuma sebungkus kecil porsi kucing dengan lauk orek tempe dan bihun goreng kecap.

Sebelum ngantor mampir dulu ke Buttercup's, kafe yang letaknya dekat sama Stardust. Pesen satu kotak donat filling strawberry bertabur gula bubuk favoritku. Aku nggak bisa kerja kalau nggak ada itu sama caffee latte.

Tapi belakangan juga yang berbau kopi mesti di skip. Karena dua Minggu  ini perutku melintir macam pakaian yang dimasukkan ke mesin cuci. Sakiiit banget rasanya. Mual. Mulut asem.

Jadinya aku ganti sama choco malt deh.

Pas snack break, Mbak Dara selalu pesenin makanan- makanan enak. Mulai dari cake, brownie, mochi, donat, roti isi, jajanan pasar, salad yang bersaus yogurt dan parutan keju! Wah pokoknya surga banget deh buatku itu.

Jadi memang nggak ada celah buat langsing sih. Repot banget kalau harus menghindari semua makanan yang selezat dosa itu.

Belum lagi ayam geprek Jotos yang pakai sambal cabe gendot itu! Gawat! Sekarang aja  cacing- cacing di perutku sudah pada belingsatan. Padahal aku cuma bayangin makanan- makanan itu saja lho!

***

Tabunganku sudah cukup buat ganti mobil baru. Enaknya kerja di WO sih selain dapat fee, seringnya juga dapat hadiah berupa barang- barang kece dan lucu yang kadang kujual lagi ke teman- temanku. Atau dijualin sama Fira ke teman- teman kampusnya.

Bulan lalu saja dari pernikahan klienku yang bernama Tsabita aku dapat dompet Miu-Miu setelah pernikahan itu sukses. Sayang banget warnanya merah marun. Kalau hitam sudah kupakai sendiri. Akhirnya dompet itu dibeli teman ibu dengan harga tetangga.

Awal- awal aku nerima gituan tuh aku takut banget. Takut kalau itu ternyata masuk dalam kategori gratifikasi. Tapi Mbak Dara bilang itu sah-sah aja dan dia mengizinkan asalkan kami nggak maksa minta.

Ada klien yang royal, ada pula yang meditnya minta ampun juga. Jangankan hadiah, bilang terima kasih saja nggak!

***

Fat And Fabulous Where stories live. Discover now