Chapter 12

78.7K 5.2K 443
                                    

P E M B U K A

Sebelum baca, kasih emot dulu buat chapter ini

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Sebelum baca, kasih emot dulu buat chapter ini

***

Kalau bukan karena anaknya, Manggala lebih memilih tinggal satu malam di hotel yang sudah Jiro siapkan dan istirahat dengan nyaman daripada memaksa tubuh lelahnya berkendara pulang. Mulanya ia memang setuju untuk menginap karena merasa tubuhnya sudah tidak mampu sekalipun dipaksa dan butuh istirahat kalau tidak mau tumbang. Namun, baru menutup kelopak mata, gelombang yang membawa rasa khawatir menghantam rongga dadanya begitu kuat ketika sosok Askara muncul dalam benak.

Manggala benar-benar khawatir tidak ada seseorang yang ikut terjaga dan mengambilkan air minum ketika Askara tiba-tiba bangun karena tenggorokannya kering.
Tidak hanya itu saja, kalau bukan dirinya, lantas siapa yang akan menemani bocah itu bermain ketika terjaga di waktu menjelang subuh? Siapa yang akan menggendongnya sampai tertidur kembali kalau dibangunkan paksa oleh mimpi buruk? Baru membayangkan Askara terjaga seorang diri, terus memanggilnya dan menangis ketakutan saja sudah membuat pikiran Manggala kacau sampai nekat pulang dengan kondisi buruk sekalipun.

Tengah malam, bukannya tidur untuk mengembalikan energi, Manggala justru memacu kendaraan dengan kecepatan penuh, membelah jalanan ditemani perasaan kalut yang enggan pergi sebelum berada di sisi Askara. Perasaan itu cukup mengganggu konsentrasi dan menggerus habis sampai tidak ada rasa nyaman tersisa.

Setiap kali berhenti di lampu merah, pria itu mengawali panggilan pada Viola dengan permintaan maaf karena mengganggu waktu istirahat perempuan. Selanjutnya, ia meminta tolong padanya untuk mengecek ke kamar Askara dan Kala untuk memastikan anak-anaknya masih tertidur nyenyak. Tidak lupa Manggala berpesan pada Viola agar memberi air mineral kalau mendapati Askara terjaga.

"Lo mau nanya soal Askara sama Kala, kan?" todong Viola begitu panggilan keempat terhubung. Dari nada yang digunakan, terdengar kesal, tapi tidak sampai dilampiaskan lewat marah. "Askara masih tidur sambil mangap dikit dan belum lepasin boneka kelinci dekilnya. Kalau Kala, baru banget kebangun dan ribut sama gue karena sebel. Gue apes banget, kan? Padahal cuma lakuin apa yang lo suruh, tapi gue dituduh macem-macem."

"Kala udah tidur lagi?"

"Kayaknya udah. Jangan nyuruh gue buat ngecek, gue males banget ribut lagi sama tuh anak."

"Nggak kok. Terima kasih, ya?"

"Hmmm."

Obrolan singkatnya dengan Viola cukup membawa pengaruh baik. Manggala merasa sedikit lebih baik dan bisa mengemudi dengan tenang. Terlebih saat mendapat energi positif dari foto kebersamaannya dengan Kala dan Askara.
Menjadi seorang ayah yang baik untuk mereka bukanlah hal mudah bagi Manggala yang tumbuh bersama luka dan terus dihantui bayang-bayang bagaimana mengerikannya sosok yang ia panggil 'papa'. Ketika merasa kesal, marah, dan kecewa atas sikap mereka, Manggala selalu takut pada dirinya sendiri yang belum selesai dengan masa lalu. Di situasi itu, ada balas dendam yang menuntut dipuaskan dan mendorong hatinya untuk memperlakukan anak-anaknya dengan cara yang ia dapatkan dulu. Itulah mengapa Manggala menghindari amarah yang begitu terobsesi mengambil kendali diri.

Naughty NannyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang