Chapter 31

58.7K 4.2K 1.2K
                                    

P E M B U K A

Kasih emot dulu sebelum baca

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Kasih emot dulu sebelum baca

***

Jiro tertegun dengan napas tipis-tipis.
Netranya mengerjap beberapa kali sebelum bahunya merosot disusul helaan napas berat.  Ekspresi ceria yang sempat menghiasi wajah ketika membayangkan rencana kegiatan bermalas-malasan hari ini, lenyap digantikan wajah nelangsa penuh derita. Bukannya sekarang hari Minggu? Seharusnya budak korporat sepertinya diberi waktu tenang, kan?
Kok tokoh antagonis nan bengis dalam cerita hidupnya mengirim pesan? Tidak mungkin, kan, kalau itu hanya pesan basa-basi busuk? Nawasena Manggala tidak mungkin melakukan hal itu padanya.

Jiro hanya butuh tenang, kenapa Manggala tidak bisa membiarkannya mendapatkan itu sih?

"Gue salah apa lagi, ya?"
Alih-alih membuka pesan dari si bos durjana, pria itu justru bertanya pada tumbuhan kerdil yang tak pernah memberi jawaban setiap kali ditanya perihal Manggala. Sembari membelai pot bonsai dengan penuh sayang, ia mencoba mengingat. Barangkali ada kesalahan yang dilakukan sampai Manggala mengirim pesan pengacau Minggu paginya. Meski belum membuka pesan itu, tapi Jiro yakin 100% isinya bukan sesuatu yang baik. Mendapat pesan dari bosnya sama dengan mendapat apes. 

"Gue nggak salah apa-apa, kan?"
Sekali lagi Jiro bertanya, masih pada tanaman kerdil. Pria itu tersenyum beberapa detik kemudian ketika mendapati daun tumbuhan di hadapannya bergoyang pelan. Meski gerakannya dipicu oleh angin yang berembus dari luar jendela, Jiro tetap memainkan imajinasi. Menganggap kalau itu adalah jawaban untuk pertanyaannya.
"Kita sepemikiran."

"Emang hati tuh orang udah jelek, busuk lagi. Warnanya aja hitam pekat. Kalau nggak rese, ya, rese banget," bisiknya pada daun bonsai yang baru saja dipetik. Ia letakkan daun itu di atas telapak tangannya sebelum ditiup ke luar jendela.

Bola mata Jiro bergulir ke sisi kiri pot. Ponsel yang tergeletak di sana, menyala. Menampilkan panggilan masuk dari Manggala. Pasti mau marah-marah. Hafal sekali Jiro dengan perangai buruk tokoh antagonis yang menuntutnya untuk selalu fast respons tanpa pengecualian apapun. Lewat lima menit belum balas saja sudah menelepon, marah-marah, menghujat. Padahal kelakuan Manggala sendiri; lebih sering hanya membaca pesannya tanpa membalas. Kalaupun membalas, paling cepat beberapa jam kemudian. Pun sangat singkat, padat, dan tidak jelas. Jiro sampai harus melibatkan beberapa orang untuk membantu menerawang maksud pesan bos sablengnya.
"Biarin, biar sakit hati."

Sesaat setelah layar ponselnya mati, Jiro baru menyesali perbuatannya. Nanti kalau Manggala sakit hati terus ia dipecat, bagaimana nasib cicilannya coba? Belum lagi biaya pedekate yang tidak ditanggung BPJS. Dari mana ia mendapat uang kalau sumber aliran dananya ditutup?
Tidak! Membayangkan saja semengerikan itu. Antagonis begitu, Manggala ini tipe bos royal. Di luar gaji pokok, Jiro bisa mendapat bonus dua digit setiap bulan. Meski sering mengancam potong gaji dan mengatakan kalau lemburnya adalah bagian dari loyalitas pada perusahaan, diam-diam sering ada aliran dana ke rekeningnya. Bukan itu saja, setiap kali lembur, Jiro selalu mendapat kiriman kopi atau makanan dari Manggala. Atasan seperti itu—meski banyak minus—tetap Jiro pertahankan.

Naughty NannyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang