Chapter 13

74.3K 5.4K 918
                                    

P E M B U K A

Sebelum baca, kasih emot dulu buat chapter ini

***

"Papi telat lagi," kata Kala dengan nada mencemooh pada pria berpenampilan jauh dari kata rapi yang berdiri tepat di hadapannya. Meninggalkan tempat duduknya, remaja itu berdiri tanpa melepas tatapan pada seseorang yang terus saja mengulang kesalahan sama.
Hampir setiap hari papi yang melarangnya membawa kendaraan sendiri, terlambat menjemput. Janji-janji untuk tidak terlambat hanya sebatas janji. Pada kenyataannya, sampai hari ini Manggala tidak pernah berusaha untuk menepati dan Kala mulai muak dengan semua itu.

"Tadi Papi---"

"Hari ini parah banget. Telatnya sampe sejam lebih. Menurut Papi, nunggu sejam itu nyebelin nggak, sih? Papi tau nggak kalau aku tuh capek banget, pengin cepet-cepet pulang, terus istirahat. Tapi ... Papi nambah-nambahin capek. Jadi penasaran. Kenapa telat sampai selama itu. Jangan bilang gara-gara ngurus adek, nanti aku tambah marah karena Papi selalu nomor satuin adek dan nggak bisa bersikap adil," sela Kala bengis.
Harinya di sekolah cukup berat karena mendapat beberapa gangguan dari kakak kelasnya dan Kala tidak mampu membalas perlakuan mereka. Karena itulah emosinya semakin tidak terkontrol. Termasuk pada Manggala ataupun Askara yang memang sering dijadikan pelampiasan.

"Ini nggak ada hubungannya sama adekmu kok. Kalau mau marah, cukup marah ke Papi. Papi yang salah, Papi yang nggak becus atur waktu, Papi yang nggak bisa nepatin janji," jawab Manggala cepat. Bukan sedang melindungi Askara yang memang menjadi sebab keterlambatannya, ia hanya ingin menyelamatkan Kala dari sifat cemburu yang tidak seharusnya tumbuh untuk Askara. "Papi minta maaf, ya?"

Kala melengos, melewati Manggala begitu saja. Ia mengambil langkah mendahului papi masuk ke mobil dan membanting pintu dengan keras untuk mempertegas kemarahannya. Sampai tiga detik terlewat, namun Manggala masih diam di tempat, Kala pun membunyikan klakson berkali-kali sampai mengejutkan pria yang kini melangkah tergesa menghampiri mobil.

"Kenapa Papi nggak izinin aku make mobil sendiri, sih?" sewot Kala ketika Manggala baru saja duduk di kursi kemudi. "Coba kalau diizinin. Aku nggak perlu nunggu Papi yang selalu ngaret jemputnya. Aku juga nggak perlu buang-buang energi kayak gini," cercanya kemudian.

"Kala, seat belt-nya dipake dulu," anjur Manggala mengalihkan topik, malas berdebat dengan keras kepalanya anak pertamanya. Arah perdebatan ini sudah bisa ditebak dari awal. Sejak keinginan berkendara sendiri tidak dikabulkan, setiap cekcok pasti selalu berakhir seperti ini.

"Pertanyaanku belum dijawab, Pi. Kenapa?" ulang Kala saat mobil mulai melaju dengan kecepatan pelan.

"Sementara diantar-jemput dulu, ya? Nanti kalau udah waktunya, Papi bakal izinin kok."

"Nantinya kapan? Papi bilang kayak gitu udah dari lama. Temen-temenku udah banyak yang bawa mobil sendiri. Bahkan adik kelasku juga. Orangtua mereka nggak seribet Papi tuh. Solusi antar-jemput yang Papi kasih pun nggak ngebantu. Papi banyak telatnya," cecar Kala tidak berhenti berusaha untuk membuat Manggala merasa bersalah. Berdasar pengalaman, ketika papinya merasa bersalah, maka saat itulah papi akan mengabulkan segala keinginannya sebagai permintaan maaf. "Gara-gara masih diantar-jemput gini, aku nggak bisa kayak yang lain. Sesekali aku juga butuh refreshing sepulang sekolah. Boro-boro refreshing kayak yang lain. Mau belajar kelompok aja kadang ribet harus nunggu Papi dulu. Yang lain udah mau pulang, aku baru dateng gara-gara Papi ngaret. Nebeng terus juga malu, Pi. Kek ... ahh susah jelasinnya, Papi nggak bakal ngerti."

Naughty NannyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang