Prolog

392 17 2
                                    

_________________________________________

Aku tidak tahu jika mencintai seseorang akan serumit ini. Kalau tahu rasanya seperti ini, aku memilih untuk tidak mencintai siapapun dan fokus dengan diriku sendiri seperti sebelumnya. Sebagai Aruna dengan kesendiriannya. Sebagai Aruna tanpa orang-orang disekitarnya. Itu lebih menenangkan rasanya.

Namun ia adalah Banyu Havie Gumelar. Serumit apapun cinta itu jika orang yang dicintai adalah Havi, aku sangat ingin merasakan rumitnya. Berada di dalam kerumitan hubungan bersama Havi, aku bisa merasakan sedikit kebahagiaan walau itu hanya terbatas. Aku bisa merasakan bagaimana rasanya dicintai, walau hanya sebentar.

Berputar pada masa lalu, dulu aku merasa aneh ada seorang pria yang mau berbicara dengan sosok yang sering duduk di bangku pojok paling belakang ruangan dengan telinga yang hampir setiap waktu selalu terpasang earphone. Sebenarnya aku bukan gadis yang pendiam. Hanya saja orang-orang lebih suka menghindariku daripada berbicara padaku.

Waktu itu cuaca terasa tidak terlalu terik sehingga aku memilih untuk memandangi keluar kaca seraya menunggu dosen masuk ke ruangan. Sebelah earphone-ku terlepas membuat aku mengalihkan pandanganku dari kaca.

Dia tersenyum. Senyum yang sampai detik ini aku masih bisa mengingat persis senyumnya hari itu.

"Maaf, aku boleh duduk sini?" Telunjuknya mengarah pada bangku sebelahku.

Aku menjawabnya hanya dengan gerakan yang menunjukkan kalau aku setuju-setuju saja. Lagipula aku tidak punya hak untuk melarangnya duduk di sebelahku.

Kami tidak berbicara karena aku sibuk dengan duniaku dan dia sendiri sibuk mengobrol dengan teman di sebelahnya. Sampai ketika dosen masuk, aku melepaskan earphone kemudian mulai mendengarkan penjelasan dosen di depan sana.

Hal yang sama terus dilakukan olehnya selama hampir dua minggu lamanya. Di minggu ketiga, aku tidak mengenakan earphone. Seperti biasa, ia datang lagi dan meminta izin padaku untuk duduk di sampingku. Dan lagi-lagi aku hanya mengiyakan saja. Tetapi hari itu berbeda. Biasanya ia hanya duduk saja, namun kali ini ia mengajakku berbicara lain hal.

"Aku Havi. Kamu?" Tangannya terulur hendak mengajak berkenalan.

"Aruna." Aku membalas uluran tangannya.

Wajahnya terlihat berpikir. "Boleh aku panggil Arun?"

Panggilan baru itu sempat terasa asing di telingaku. Karena selama aku hidup, belum pernah ada yang memanggilku dengan sebutan seperti itu. Entah itu ibu panti, kakak, atau anak-anak panti lainnya. Anehnya, aku justru mengiyakan permintaan Havi. Siapa sangka nama panggilan tersebut merupakan nama panggilan yang paling ingin kudengar setiap harinya.

Satu menit perbincangan kami di waktu itu ternyata tidak cukup. Esok harinya, lusa, dan seterusnya kami semakin sering berbincang. Tawa yang jarang aku perlihatkan pada siapapun, itu tidak berlaku untuk Havi. Dia adalah satu-satunya orang yang banyak melihatku tertawa. Dia adalah satu-satunya orang yang banyak memperhatikan wajahku dalam keadaan apapun.

"Aku mau lanjut S2 di Aussie." Havi memberitahuku.

Aku menoleh. Perasaan yang datang ketika Havi memberitahu hal tersebut sangat asing. Aku tidak nyaman dengan perasaan asing itu. Namun aku hanya mengangguk saja sebagai jawaban.

Tahun LimaWhere stories live. Discover now