Bagian Enam

68 10 2
                                    

_________________________________________

Aruna berhenti tepat di sebuah batu nisan yang bertuliskan nama seorang wanita yang disayanginya. Wanita yang selama ini ia kenal dengan sebutan 'Kakak' yang namanya baru Aruna ketahui ketika sang Kakak telah meninggalkannya. Wanita yang satu-satunya ia anggap keluarga walau mereka tidak ada hubungan darah sama sekali.

Aruna tersenyum tipis. "Maaf, baru datengin Kakak lagi."

Aruna masih berdiri di tempat. Di lubuk hatinya, banyak sekali rangkaian kata yang ingin ia ucapkan kepada sang Kakak. Tetapi Aruna justru membahas hal yang selalu ia ceritakan padanya ketika mendatangi Kakak sendirian.

"Aku masih sama Havi. Kakak tau Havi, kan? Iya, masih Havi yang sama dengan Havi yang aku kenalkan waktu aku masih kuliah. Dia gak berubah, Kak..."

Air mata Aruna tiba-tiba menggenang hingga Aruna terpaksa menengadahkan kepalanya berusaha mencegah air matanya menetes. Matanya menerawang ke arah langit untuk mengingat sesuatu.

"Bahkan senyumannya masih sama dengan pertama kali aku lihat dia di kelas waktu itu. Hangat, tulus dan tenang. Aku baru tau ada seseorang yang punya senyum sehangat itu selain Kakak."

Aruna mengelap ujung matanya perlahan dan berusaha mengontrol dirinya untuk tetap tenang.

"Aku sendirian kesini, tanpa Havi. Aku tau Havi bakal ngomel kalau tau aku sendirian nemuin Kakak. Tapi aku lagi gak mau ketemu Havi. Seenggaknya buat sebentar aja."

Tangannya mengambil kaca dari dalam tas. Aruna melihat sebelah pipinya yang mulai memerah melalui pantulan kaca tersebut.

"Hari ini aku bertemu dengan keluarga Havi. Lagi. Aku dapat hadiah gak terduga oleh salah satu dari mereka. Rasanya agak sakit tapi masih lebih sakit cubitan Kakak waktu aku gak mau ngerjain PR sekolah." Aruna tertawa sendu.

Kaca yang dipakainya barusan kini Aruna letakkan di sisi tubuhnya. Otak Aruna memutar kembali kejadian yang baru dialaminya beberapa jam lalu di kediaman Gumelar. Aruna masih dapat mengingat setiap perkataan mereka sebelumnya.

"Ada satu pertanyaan yang belum sempat aku tanyakan sama Kakak sebelum Kakak pergi dan sampai sekarang aku belum nemuin jawabannya."

Aruna menarik napasnya panjang sebelum melanjutkan ucapannya.

"Apa menurut Kakak tumbuh tanpa orang tua adalah kesalahan?"

"Banyak dari mereka beranggapan tumbuh tanpa peran orang tua itu menentukan baik buruknya seseorang. Tapi kayanya kebetulan aku 'dianggap' dapat bagian buruknya."

Aruna menunduk. "Padahal aku punya Kakak sebaik ini sebagai pengganti orang tua aku walaupun cuma sebentar." Aruna berucap sambil berbisik, berharap sang Kakak tidak mendengar ucapannya.

Aruna beralih menatap langit lagi yang hampir berwarna jingga menandakan sore hari akan tiba. Berharap langit dapat membantu melepaskan sesaknya.

"Berkali-kali aku berpikir kenapa aku harus jatuh cinta dengan Havi? Kenapa harus aku yang bersamanya? Kenapa Havi harus pilih aku sedangkan wanita di sekitarnya jauh lebih baik daripada aku? Aku masih sering mempertanyakan itu."

Aruna tersenyum kecil. "Tapi berkali-kali juga aku berpikir, tanpa Havi aku gak akan pernah merasakan hangatnya dia. Tanpa Havi aku gak akan menikmati hidupku. Tanpa Havi aku gak akan merasakan bagaimana hidup bisa berwarna hanya dengan tingkah konyolnya. Tanpa Havi aku gak akan tau kupu-kupu bisa berterbangan di perut itu beneran ada."

Aruna kembali menatap ke arah nisan. "Tangannya yang hangat, pelukannya yang hangat, tatapannya yang selalu berbinar saat liat aku..."

"Aku mencintainya. Sangat."

Tahun LimaWhere stories live. Discover now