Bagian Sembilan

70 6 1
                                    


________________________________________

"Iya gak sih, Run?"

Yang Rui ajak bicara sedari tadi malah terlihat melamun sambil mengaduk segelas es kopi latte berulang kali dengan mata yang mengarah ke luar jendela. Jika diperhatikan kembali, pikiran Aruna seperti tidak ada di tempat. Sejak awal kedatangan mereka berdua di kafe ini, Aruna terlihat banyak pikiran yang memenuhi isi kepalanya.

"Runa."

Tidak ada jawaban. Rui mengikuti arah pandang Aruna. Terdapat anak sekitar umur sepuluh tahun yang masih mengenakan seragam sekolah sedang berjalan memegang potongan es kiko dan tangan satunya lagi memegang tangan seorang laki-laki yang Rui duga adalah ayah anak tersebut. Mereka terlihat tertawa bersama entah menertawakan apa. Kali ini mungkin Rui tahu apa yang dipikirkan Aruna.

"Oi, Aruna."

Aruna sedikit tersentak. Matanya kini beralih menatap Rui di hadapannya. "Kenapa?"

Rui mendesah kasar. "Lo emang gak denger gue daritadi."

"Maaf, kamu tadi ngomong apa?"

Rui menyilangkan kedua tangannya. "Gak biasanya lo sering ngelamun kaya gini. Mikirin apaan?"

Aruna kembali menatap suasana di luar kafe sebelum menjawab. Tanpa sengaja ia kembali melihat anak kecil sebelumnya. Senyumnya tertarik ke atas begitu saja.

"Menurut kamu, apa aku bakal punya anak nanti?" tanya Aruna tiba-tiba.

"Tiba-tiba banget pertanyaan lo." Rui menyedot kopinya sekali sebelum menjawab pertanyaan Aruna.

"Ngeliat usaha lo sama Havi selama ini, gue yakin kesempatan itu bakal datang, Run. Takdir gak ada yang tau."

Aruna menunduk. "Kalo nggak?"

"Pikiran juga ngaruh buat dijadiin nyata atau nggak. Kaya law of attraction gitu. Lo pernah denger, kan? Ibarat apa yang ada dalam pikiran bisa jadi nyata. Jadi gue saranin buat mikir yang bener aja, Run."

Aruna diam tidak menjawab lagi. Melihat diamnya Aruna, Rui menopang dagunya untuk menatap Aruna dengan seksama.

"Yang lo pikirin daritadi bukan ini kan?"

Aruna tersenyum dengan kepala yang masih menunduk. "Gak heran kamu punya hubungan darah sama Havi."

Mengucap nama itu, dada Aruna langsung merasa nyeri. Lagi. Hal itu terjadi sejak tadi pagi ketika terakhir kali mereka berbicara. Padahal tidak ada yang aneh namun tetap saja Aruna merasa tidak nyaman dengan perasaan yang tiba-tiba ini.

"Havi kenapa?"

Aruna menarik napas dalam. "Kamu percaya hubungan bener-bener diuji di tahun kelima mereka berhubungan?"

Rui terlihat berpikir. "Kasusnya banyak sih. Tapi gue setengah percaya setengah nggak juga. Kenapa?"

Aruna menggeleng. "Nggak. Cuma pikiran buruk aku aja. Kaya kata kamu tadi buat mikir yang bener aja biar gak jadi nyata." Aruna menyedot kopi yang sedari tadi diaduknya sampai tersisa setengahnya.

Mata Rui menyipit. "Jangan bilang Havi having affair sama cewek lain?" tebak Rui asal.

Bukannya terkejut Aruna justru diam saja yang malah membuat Rui terkejut dengan respon Aruna.

"Ini serius?"

Aruna memejamkan matanya. "Cuma pikiran buruk aku aja, Rui."

Rui sudah bersiap meledakkan emosinya jika saja Aruna tidak berkata demikian. Helaan napas panjang terdengar dari Rui.

Tahun LimaWhere stories live. Discover now