Bagian Tiga

80 8 0
                                    

_____________________________________

Klik

Havi menjauhkan ponselnya dari telinga. Ia memandangi layar ponsel yang menampilkan room chat-nya dengan Aruna beberapa menit lalu. Havi menghela napas panjang. Bagaimanapun juga ia tetap harus menepati janjinya semalam.

"Oke, aku harus percaya."

Mencoba untuk mengalihkan pikirannya pada Aruna, Havi mulai berjalan menuju suatu tempat di lain bagian kantor ini untuk menemui seseorang. Seperti perkataan Havi sebelumnya, ia harus menghadiri janjinya dengan seseorang. Lebih tepatnya terpaksa untuk bertemu.

Mata Havi menatap lurus pada perempuan yang sedang menyantap makan siangnya sembari pandangannya yang fokus dengan tablet di tangannya. Tanpa basa-basi Havi langsung duduk di seberang perempuan tersebut.

"Apa lagi mau lo?" tanya Havi langsung.

Perempuan itu tersenyum tipis. Ia mendongak agar dapat menatap Havi dengan jelas.

"Hey, long time no see. Maybe it's been two years ago? Two and a half?"

Havi tidak menjawab. Ia menatap pada apapun yang ada di sekitarnya asal tidak menatap mata perempuan di hadapannya ini. Havi terlalu malas untuk itu.

"How are you? Ah, bukan, keadaan lo udah nunjukkin jawabannya." Perempuan tersebut berkata lagi seraya memasukkan makan siang ke dalam mulutnya.

"You looks good. Aruna benar-benar memperhatikan penampilan suaminya dengan baik. Penampilan lo kadang hampir buat gue lupa kalo lo udah beristri. Begitu juga Aruna bisa berguna jadi istri lo."

Havi menatap lawan bicaranya dengan ujung mata. Menandakan ia malas untuk berbincang lama bersamanya. "Jangan sebut istri gue seperti itu. Terlebih itu dari mulut lo." 

Perempuan berwajah kecil tersebut terkekeh kecil. "Gimana ya? Lo selalu sensitif tentang Aruna, jadi kadang mau gak mau gue bahas dia sebentar biar lo bisa natap lawan bicara lo."

"Ternyata lo masih sekaku ini. Kalau dipikir-pikir, gue sama sekali gak tau masalah perjodohan kita dulu. Padahal kita sama-sama diuntungkan kalo terima perjodohan itu. Gak adil banget rasanya lo jadi gak suka liat gue sampai sekarang."

Havi mendengus kasar. "Bisa langsung ke intinya? Gue gak punya banyak waktu."

Mata sang perempuan meneliti wajah Havi. "Aruna lagi nunggu kamu, kah? Sudah ketebak sih. Siapa lagi yang buat Havi terburu-buru kalo bukan Aruna. Dia ada disini? Ah, lo bilang kalo mau temuin gue disini? Aruna kayanya belum tau gue udah pulang."

"Maureen." Havi memanggil nama perempuan tersebut datar.

Maureen O'Hara. Perempuan berdarah Spanyol dengan mata coklat terang dan berwajah kecil yang sempat akan menikah dengan Havi sebelum Havi melamar Aruna. Keduanya dijodohkan begitu keputusan warisan perusahaan jatuh ke tangan Havi seutuhnya. Alasan mereka dijodohkan tentu karena bisnis lalu om dan tantenya yang kala itu menjadi walinya tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan itu.

Havi tentu menolak keras keputusan sepihak tersebut. Selain karena tidak didasari oleh cinta, Havi juga tidak menyukai Maureen. Dilihat dari segi manapun, Havi tidak akan pernah menyukainya. Maureen yang tidak punya empati walau ia sebenarnya masih dapat berbaik hati. 

Maureen tersenyum. "Aruna gak tau lo nemuin gue," tebaknya saat melihat gelagat Havi .

Havi berdiri dari duduknya. "Buang-buang waktu." 

Havi sudah akan meninggalkan meja tetapi perkataan Maureen selanjutnya mengurungkan niatnya itu.

"Gue kesini buat tanda tangan perpanjangan kontrak. Juga pastinya buat ketemu lo, lalu liburan dan masih banyak lagi sih."

Tahun LimaWhere stories live. Discover now