Bagian Empat

75 6 0
                                    

________________________________________

Aruna terpaksa membuka matanya ketika merasakan ada sesuatu yang menindih perutnya sampai ia kesulitan menggerakkan badan sendiri. Dilihatnya Havi  tidur dengan menjadikan perut Aruna sebagai bantal membuat Aruna tertawa pelan. Sebenarnya sebelum tidur, Havi masih dalam keadaan memeluknya. Namun ketika malam berlalu Havi masih sering berpindah-pindah posisi secara tidak beraturan dalam keadaan tidak sadar. Bisa dikatakan Havi 'nakal' saat tidur.

Aruna duduk kemudian memindahkan kepala Havi ke pangkuannya. Aruna mengamati wajah Havi yang tertidur pulas sangat lama. Tangannya mengusap pelan rambut lalu turun membelai permukaan wajah Havi.

"Kamu tidurnya nakal lagi," bisik Aruna serak khas bangun tidur.

Havi tidak merasa terganggu sama sekali selama Aruna menelusuri wajah Havi berulang kali. Setelah merasa puas menatap Havi, Aruna menutup kegiatannya tersebut dengan memberi kecupan ringan pada bagian pipi Havi.

"I love you, Banyu."

Aruna beranjak menuju kamar mandi sebagai permulaan dalam memulai aktivitas paginya. Sebelum ke kamar mandi, Aruna sempat mengambil sesuatu di laci peralatan make up pada bagian dalam secara hati-hati. Usai mendapatkannya, Aruna menimang-nimang keputusan apa yang harus ia lakukan pada alat di tangannya ini. Dan keputusannya berakhir pada Aruna membawa alat itu masuk ke dalam kamar mandi bersamanya.

Aruna duduk di atas toilet duduk begitu menyelesaikan ritual paginya seraya menunggu alat yang ada di tangannya menunjukan hasil yang dapat sesuai dengan keinginan Aruna selama ini.

Satu garis merah.

Hembusan napas panjang keluar begitu saja dari Aruna. Ia sudah tidak terkejut lagi dengan test pack yang tetap menunjukkan hasil yang sama dengan hari-hari sebelumnya. Walau begitu perasaan kecewa tetap menghampirinya. Aruna memeluk kedua lututnya dan menumpukan dagunya disana sembari memandangi kedua test pack dengan mata yang mulai berkaca.

"Kamu beruntung punya Havi yang gak pernah menuntut apapun dari kamu."

"Havi anak tunggal. Kalau bukan dari Havi, darimana lagi Havi bakal punya keturunan."

"Havi sudah dapat apa dari kamu?"

Kalimat demi kalimat yang sering Aruna dengar seketika melintas di pikirannya. Dan hatinya kembali merasakan sakit seperti sakitnya ketika orang-orang mengatakan semua hal itu. Tetapi jika menilik fakta yang ada, semua yang dikatakan orang-orang adalah benar adanya. Bahwa dengan adanya Havi saja, Aruna sudah sangat beruntung. Sudah seharusnya timbal balik keberuntungan itu bisa berarti untuk Havi juga. Begitu pikir Aruna.

Terlahir tanpa merasakan rasanya memanggil 'Ibu', dewasa tanpa adanya peran 'Ibu' dan dirinya yang tidak kunjung menjadi 'Ibu' bukanlah keinginan Aruna. Dunia tidak mudah mengabulkan permintaannya bahkan untuk keinginan terakhirnya. Menjadi seorang ibu dan merasakan rasanya dipanggil ibu.

Aruna menengadahkan kepalanya agar air mata yang sudah menggenang tidak menetes. Ia tidak bisa menangis begitu saja saat Havi masih di dekatnya. Sulit rasanya ketika Havi harus melihat sisi dirinya yang rapuh ini.

"Arun, kamu masih lama?"

Aruna terkesiap mendengar panggilan Havi dari luar. Buru-buru ia membuang test pack yang dipegangnya ke dalam kotak sampah dengan asal. Tidak lupa Aruna membilas wajahnya kembali agar terlihat lebih segar sebelum membuka pintu.

Aruna tersenyum pada Havi saat sudah berhadapan dengan Havi. "Maaf lama."

"Aku nunggu ada 20 menitan dari aku bangun tadi. Kamu sakit?"

Tahun LimaWhere stories live. Discover now