5. Dilarang Main HP Saat Mabuk dan Makan Malam Bersama

6.1K 1.1K 179
                                    

Apa yang lebih parah daripada lembur sendirian sampai malam, dan harus melihat sang gebetan yang sedang flirting dengan gebetannya?

Waktu sudah menunjukkan pukul sembilan malam ketika Irish masih sibuk berkutat dengan dokumen-dokumen pelengkap untuk legal opinion kasus Soto Halimah. Sekarang ruangan sudah kosong. Di luar Irish, orang terakhir yang lembur sudah pamit pulang lima menit yang lalu.

Kasus Soto Halimah itu ternyata lebih njelimet dari yang Irish pikirkan-mungkin karena ini pengalaman pertamanya mengurus kasus litigasi yang bukan kasus-kasus di buku teks. Caraka mengembalikan draft yang Irish kirimkan dengan banyak sekali catatan dan tanda seru-baru halaman pertama saja sudah ada tulisan "BUKAN FAKTA HUKUM" besar-besar. Untungnya, nggak cuma mengoreksi, Caraka juga memberikan saran ini itu serta rujukan supaya Irish mencari data-data yang sesuai, sehingga progress revisi Irish lebih cepat, meski nggak menolongnya dari keharusan lembur sampai waktu yang belum ditentukan.

Irish sudah paham bahwa bekerja di bidang ini memang harus berakrab-akrab dengan kebiasaan lembur. Masih di kantor sampai pukul 10 malam adalah hal biasa. Pernah juga ada yang lembur sampai pukul 3 pagi. Orang luar yang percaya pada mitos bahwa gaji corporate lawyer bisa membuat mereka beli rumah cash tanpa cicil mungkin akan berkata itu sepadan. Yah, mitos itu nggak sepenuhnya salah, tapi mungkin corporate lawyer yang dimaksud adalah orang-orang seperti Caraka ke atas.

Seperti yang selalu Irish katakan, dia nggak pernah masalah harus kerja lembur sampai malam. Orang rumahnya memang rewel, tapi nggak pernah melakukan yang lebih dari itu, sebab mereka tahu percuma menghalangi Irish ketika dia sedang semangat-semangatnya melakukan sesuatu. Yang membuat Irish menyesal lembur malam ini adalah karena hal itu membuatnya harus melihat apa yang nggak ingin dia lihat

Irish sudah siap-siap hendak pulang ketika dua orang yang dikenalnya muncul. Agas dan Ana. Dua muda-mudi yang kemungkinan besar sedang dimabuk cinta itu berhenti di lorong yang mengarah ke pintu keluar-yang sialnya ada di depan pintu ruangan divisi legal, sehingga mau nggak mau mata Irish dipaksa untuk melihat.

Irish menelan ludah. Bukannya segera pergi, mereka malah berhenti dan ngobrol seru di sana-kalau nggak mau disebut flirting. Emang pada lembur apa, sih? Nggak biasanya anak HR lembur sampai jam segini, pikir Irish sebal.

Irish jadi galau. Haruskah dia pulang sekarang? Masalahnya, Irish nggak janji bisa mengatur ekspresinya ketika berhadapan langsung dengan dua orang itu. Bagaimana kalau raut muka cemburunya terlalu terang-terangan? Bagaimana kalau Agas jadi tahu perasaan Irish? Bagaimana kalau Agas tahu bahwa Iris patah hati berat?

Irish yang tadinya sudah berdiri lantas duduk lagi. Ditaruhnya tas di atas meja, dan disandarkannya punggung ke kursi. Otaknya berpikir keras, dan sialnya, dua orang itu malah keasyikan ngobrol. Mungkin mereka mengira ruangan divisi legal sudah kosong, sehingga merasa bebas flirting sesuka hati.

"Belum pulang?"

Irish terkejut ketika muncul suara familier di dekatnya. Caraka berdiri sepuluh langkah darinya. Irish nggak mendengar langkah kaki bosnya-dia bahkan nggak tahu Caraka masih ada di ruangannya.

"Eh, Pak! Astaga, kok Pak Caraka tiba-tiba di situ? Kaget saya."

"Kayaknya kamu selalu kaget kalau lihat saya."

Irish meringis. Yeah, salah siapa itu? Tentu salah Irish sendiri.

"Iya, ini baru mau pulang, Pak," kata Irish, menjawab pertanyaan Caraka sebelumnya. "Revisinya sudah saya kirim email barusan. Pak Caraka sudah sempat cek?"

"Saya cek besok."

Irish membuat tanda OK dengan jarinya. "Semoga sudah lebih baik dari yang sebelumnya."

DRUNK DIALINGWhere stories live. Discover now