9 - The Darwins

81 11 0
                                    

9 – The Darwins

Remia menghela napas ketika entah untuk keberapa kalinya, pintu ruang kerjanya menjeblak terbuka. Kali ini, ia mendengar suara adik ketiganya, Aaron, terdengar tak sabar,

"Tidakkah ini terlalu lama untuk makan siang?"

Mengingat betapa tidak sabarannya Aaron, ajaib bagaimana adiknya itu menjadi yang terakhir datang ke ruang kerja Remia untuk mengadukan itu.

"Benar," tandas Katya yang sedari tadi tidak bisa tenang dan terus mondar-mandir di ruangan itu sejak ia datang. "Dia mungkin membawa Elaine ke tempat lain selain untuk makan siang, Kak."

"Kalau begitu, tidakkah sebaiknya kita segera mengirim orang untuk melumpuhkannya?" tandas Davon. "Aku akan mengurusnya setelah itu."

"Menurut laporan orangku yang mengikuti mereka, mereka masih ada di restoran salah satu hotel Barraga dan belum meninggalkan restoran," Shane memberitahu.

"Bagaimana dengan media?" Jerome angkat bicara. "Kamu sudah memastikan mereka tidak memberitakan apa pun tentang Elaine dan orang itu?"

Shane mengangguk. "Karena asistenmu bergerak cepat semalam, asistenku bisa mengendalikan media dengan mudah hingga saat ini," balasnya. "Aku juga sudah menyiapkan berita untuk pengalihan jika ada berita tentang mereka."

Jerome mengangguk puas. Bahkan Jerome yang biasanya paling tenang, kali ini tampak lebih waspada dari situasi kapan pun.

"Jangan membuat keributan yang tidak perlu," Remia berkata. "Sudah kubilang, aku akan mengurus Reed Barraga." Remia menatap dingin ke arah layar laptopnya, tempat di mana ia baru saja mendapat kiriman gambar saat Reed Barraga menyematkan cincin berlian di jari adik bungsunya.

"How dare he ..." geram Remia di sela giginya. "Persiapanku sudah selesai dan mulai detik ini, dia akan terlalu sibuk untuk mendekati Elaine." Remia menatap lurus ke depan. "Karena itu, seperti pesanku sebelumnya, lakukan apa yang biasanya kalian lakukan."

Davon mendengus pelan. "I'll do my best."

Ya, Davon. Mengamuklah sepuasmu.

***

Keenam kakak Elaine ada di ruang depan ketika Elaine tiba di rumahnya usai makan siang bersama Reed. Tahu keenam kakaknya akan bereaksi seperti ini, Elaine menyuruh Reed langsung pergi setelah mengantarnya tadi.

"Did you have fun, Our Youngest?" sapa Remia sembari tersenyum.

Elaine berusaha untuk tidak menunjukkan kewaspadaan. Namun, ia sepertinya gagal. Elaine lebih suka menghadapi amarah kakaknya jika ia melakukan hal yang tak mereka sukai, terutama Remia, daripada reaksi yang seperti ini. Karena saat ini, kakaknya itu tampak begitu berbahaya. Elaine mengepalkan tangannya, lalu ia merasakan sesuatu di jarinya. Cincin dari Reed.

"Karena itu, jangan menyerah karena hal seperti ini. Karena aku juga tidak akan mundur."

Entah bagaimana, tiba-tiba kata-kata pria itu terngiang di telinganya. Perlahan Elaine kembali relaks. Elaine bahkan lantas bisa tersenyum lebar sebelum menjawab,

"Yeah, I did."

Seketika, ekspresi kakak-kakaknya kecuali Remia, mengeras.

"That's good, then," Remia berkata. "Karena setelah ini, aku khawatir calon suamimu akan terlalu sibuk untuk bertemu denganmu lagi."

Ah, ini tentang tantangan Remia untuk Reed selama sebulan ini. Tentu saja Elaine khawatir tentang itu. Namun, ia sudah memutuskan untuk percaya pada Reed. Lebih tepatnya, pada kesepakatan antara mereka berdua. Dan ... ia tidak akan menyerah, karena Reed juga tidak akan menyerah.

"Aku tahu," jawab Elaine.

"Jangan terlalu patah hati jika dia memutuskan untuk mengkhianatimu," Remia berkata lagi. "Kamu juga tahu, kan? Di dunia ini, tidak ada yang bisa kamu percaya selain kakak-kakakmu?"

Elaine mengernyit.

"Kamu mungkin tidak tahu ini karena kamu tidak pernah terjun langsung dalam manajemen perusahaan," lanjut Remia. "Tapi, apa yang harus dihadapi calon suamimu itu akan membuat siapa pun menyerah."

"Aku ... percaya padanya," Elaine berkata, berusaha untuk yakin pada kata-katanya sendiri.

Remia tersenyum kecil sembari menelengkan kepala santai. "Begitukah?"

Saat itulah, ponsel Elaine berdering. Ada panggilan masuk. Dari Reed. Elaine langsung mengangkat telepon pria itu.

"Reed ..."

"Oh, maaf karena tiba-tiba menghubungimu. Kuharap aku tidak mengganggumu," ucap Reed.

"Tidak, sama sekali tidak. Tapi ... ada apa?" Elaine lagi-lagi gagal menyembunyikan emosinya. Ia sudah memutuskan untuk percaya pada kesepakatan mereka, tapi ... bisakah ia memercayai pria itu?

"Um ... bukan apa-apa. Hanya ... uh ... apa kamu suka bunga?"

Pertanyaan Reed itu membuat Elaine mengerjap bingung. "Bunga ...?" Mungkinkah Elaine salah dengar?

"Ya, bunga," ulang Reed. "Jika kamu tidak terganggu dengan bunga atau jika kamu punya bunga yang kamu suka ..."

"Semua," Elaine menyela pria itu. "Aku suka semuanya. Apa pun itu ..."

"Oh ..." Reed sepertinya sedikit bingung karena jawaban Elaine. Namun, pria itu melanjutkan. "Baiklah, kalau begitu. Dan kuharap, kakak-kakakmu tidak terlalu keras padamu karena kamu pergi makan siang denganku."

Elaine tak bisa menahan senyum. "Sama sekali tidak," ia menenangkan pria itu.

"Syukurlah, kalau begitu," balas Reed. "Jika kamu butuh sesuatu, kamu bisa menghubungiku. Atau, jika kamu menginginkan sesuatu, makanan, atau apa pun, kamu bisa memberitahuku."

"Oke," jawab Elaine, masih sambil tersenyum.

"Hm ... oke ... kalau begitu ... uh, sampai jumpa lagi," pamit Reed.

"Ya, Reed. Sampai jumpa lagi," balas Elaine. Ia menutup telepon dan menurunkan ponselnya, tapi kemudian sadar ia masih berdiri di depan keenam kakaknya.

"Ah ... Reed ... dia hanya menanyakan tentang bunga yang kusuka," Elaine menjelaskan.

"Huh, bunga?" Davon mendengus meledek. "Aku bahkan bisa membuatkanmu sebanyak apa pun taman penuh bunga yang kamu inginkan."

"Oh, tidak perlu, Kak," tukas Elaine. "Aku tidak butuh sebanyak itu." Elaine meringis. "Dan ... um ... jika tidak ada lagi yang ingin kalian bicarakan, bolehkah aku pergi ke kamarku?"

"Ya, pergi ke kamarmu dan istirahatlah," Remia menjawab.

Elaine mengangguk dan bergegas pergi, secepat mungkin ingin segera berada di kamarnya, aman dari pandangan tajam kakak-kakaknya.

***

"Bagaimana bisa ... dia tersenyum seperti itu hanya karena bunga?" Suara Aaron terdengar tak percaya.

"Thousand gardens won't even match up, huh?" sinis Davon.

Hening selama beberapa saat. Fakta yang cukup untuk memukul mereka. Namun, Katya kemudian menyuarakan apa yang mungkin dirasakan Remia dan yang lainnya,

"It stings, Man ..."

Ya. Rasanya seolah ada yang mencubit hati Remia. Perasaan yang jarang dirasakan Remia. Karena tidak ada seorang pun yang bisa membuat hati Remia merasa seperti ini selain hal yang menyangkut adik bungsunya.

Selama ini, setiap kali Remia harus bertarung atau berperang, ia tidak pernah menggunakan cara curang. Dengan kemampuannya, ia tak perlu menang dengan cara seperti itu. Namun kali ini, ia akan menggunakan segala cara. Untuk menyingkirkan Reed Barraga dari hidup Elaine.

***

Our Contract MarriageWhere stories live. Discover now