Part 1

32 1 0
                                    


'Ariyo mana sih? Tatyana juga gak nongol-nongol'

Aku berdiri di pinggir gerbang SMA Garda Tama, menuggu Ariyo dan Tatyana yang tak kunjung datang. Padahal bel pulang sekolah sudah berdering sejak setengah jam yang lalu. Aku nggak yakin mereka memang punya kepentingan yang tidak bisa ditinggalkan—seperti pesan mereka. Paling-paling mereka berduaan di ruang musik, ruang favorit Tatyana yang memang jago banget main piano.

Panas menyengat membuat emosiku kian meninggi. Minggu ini terasa berat banget. UTS di depan mata, nggak mungkin aku nggak belajar. Belum lagi latihan untuk kejuaraan, beratku belum mencukupi untuk masuk kelas yang sabeum Dera sarankan. Ah, jangan lupa, kalahnya seorang Deviolita Damareka pemegang sabuk hitam Taekwondo pada sparring kemarin. Sekarang, Ariyo dan Tatyana tidak kunjung muncul. Duh, aku kan nggak boleh pulang sendiri sama Ariyo. Tapi dia malah asyik masyuk dengan Tatyana.

'Setengah jam lagi mereka nggak keluar, gue pulang'

"Vi! Violi," ujar cowok tampan yang sayangnya akan kujadikan sasaran kekesalan. Wajahnya tegas dan lembut secara bersamaan, tapi hanya seringai jahil yang kuingat darinya. Tak sudi aku bilang dia ganteng, cukup orang-orang bodoh di sekolahku. Oh akhirnya mereka datang.

"Tsk!" aku tak menghiraukan panggilannya, malah langsung menendangnya dengan tendangan yang pasti mengekspos celana pendek yang kugunakan di balik rok abu-abuku.

"Wey! Itu celana stretch lo keliatan," cowok tampan itu menggeram. Sisi protektifnya padaku keluar. Dia memang tidak suka jika jika bagian tubuhku dilihat atau dinikmati cowok lain. Well, bukannya dia menikmati tubuhku, tapi dia takut aku kenapa-kenapa. Gitu katanya.

"Dasar lama!" sentakku padanya. Dia meringis kecil, mengusap puncak kepalaku. Lebih tepatnya mengacak-acak rambut sebahuku. Kasihan dia, rambutku dengan mudah kembali rapi tanpa harus aku rapikan. Syukurlah, rambutku penurut sekali.

"Maaf deh, My Princess Violi, tadi Tatyana harus ngerapihin ruang musik dulu. Sebagai pacar yang baik gue harus bantuin kan?" katanya sambil terkikik.

'Alasan'

"Iya, Vi. Maaf," kata Tatyana sambil mengusap kedua belah telapak tangannya satu sama lain. HA! Tepat seperti dugaanku. Kini Tatyana sudah tertular sifat Ariyo. Kasihan kamu Tatyana, sifatmu menjadi buruk karena dia. Wajah cantik dengan pipi tirus bukan kurus kini menyeringai jahil. Aku memutar mataku.

"Dasar komplotan. Emangnya gue nggak tau kalau kalian tuh mesra-mesraan di belakan gue?" agak keki aku harus mengatakannya. Mengingat aku kepanasan bak kerupuk yang hendak digoreng.

"Maaf, ditraktir es krim deh sama Tatyana," seru Ariyo.

"Lah kok? Aku?" Tatyana bingung.

"Iya lah. Kan—"

"Berisik, oke gue maafin. Syaratnya, masing-masing harus traktir gue es krim, biar adil," ucapku final dengan mata berbinar. Keduanya melongo ke arahku yang berjalan mendahului mereka menuju kedai es krim terdekat.

***

"EH, VIOLI!" seru Ariyo.

"APA?" ujarku tak kalah sengit.

Kami berada di IceCream, Co. untuk makan es krim. Sebenarnya cuma aku yang makan karena Ariyo dan Tatyana harus tanggung jawab terhadap rasa kesalku. Menraktirku es krim yang cukup mahal di kedai es krim terkenal ini. Uhh, bahagianya makan dua porsi Super Sundae. Ah, aku baru ingat belum makan siang. Sakit perut ditanggung belakangan deh.

"Makannya pelan-pelan ih, kayak gak pernah makan es krim aja. Mana berantakan lagi," Ariyo mengambil tisu di meja dan mengelap mulutku yang katanya belepotan es krim.

"Bomat," kataku. Bodo amat maksudnya.

"Kalau udah kita ke rumah aku yuk, Violi," ujar Tatyana. Mataku langsung berbinar cerah. Rumah Tatyana sama artinya dengan makan enak sampai perut kenyang. Mama Sarah, mamanya Tatyana, sangat hobi dan jago masak. Kalau ada yang mau makan makanannya, dengan senang hati ia memasakkan orang itu. Plus, orang itu akan dia angkat menjadi anaknya. Seperti aku yang sekarang menjadi anaknya, anaknya di meja makan.

"Malu-maluin ih, Ta. Nanti nama gue tercoreng di hadapan calon mertua," rengek Ariyo pada Tatyana.

"Calon mertua? Cih, emang Mama Sarah mau punya menantu kayak lo?" aku mengejek Ariyo terang-terangan. Ariyo mendelik dan mencibir, "setidaknya dia ngizinin gue pacaran sama anaknya."

Aku hendak meledeknya lagi tapi dilerai oleh Tatyana sebelum itu terjadi, "udah deh jangan kayak bocah."

Untung saja aku sayang Tatyana—dan Mama Sarah. Kalau tidak Ariyo sudah pasti akan mendapat siksaan dariku.

"Huh. Untung ada Tatyana, Yo," aku mengerling dan bangun dari dudukku. Memutuskan untuk pergi ke rumah Tatyana secepatnya. Belum sampai aku berdiri tegak, perutku terasa sakit. Seakan ada yang menusuk dari dalam. Aku nyaris jatuh, untung Ariyo sigap menopangku dengan tubuhnya. Aku memegang erat kemeja sekolah Ariyo. Akibat belum makan, pikirku. Sial.

"Kenapa?" tanyanya khawatir.

"Sakit," balasku singkat sambil duduk ke tempat dudukku. Aku kemudian mengambil obat dengan tulisan Ranitidin. Memaksa pil itu masuk ke dalam pencernaanku dengan beberapa teguk air. Semoga nyerinya segera hilang.

"Vi, kamu nggak kenapa-kenapa? Ariyo, anterin Violi pulang aja deh. Gak jadi ke rumah akunya," Tatyana menampilkan wajah khawatirnya. Aku menggeleng.

"Mau makan masakannya Mama Sarah," aku dengan ekspresi memelas bersikukuh ke rumah Tatyana. Ariyo mendengus marah, "gak sadar keadaan."

"Tunggu lima belas menit, I'll be okay" pintaku. Tatyana hanya mengangguk sambil mempertahankan wajah khawatirnya. Ariyo mencebik kesal dengan sorot mata yang sama khawatirnya dengan Tatyana.

***

2

PROTECTORWhere stories live. Discover now