Part 8

8 1 0
                                    


Gue refleks ngelepas tangan gue. Rasa bersalah menjalari gue. Sumpah, gue berani sumpah, gue gak bermaksud ngagetin atau nakut-nakutin dia sampai sebegitunya. Oh shit, sekarang gue jadi pusat perhatian seluruh lobby.

"Dev, gue... gue gak sengaja. Gue cuma mau bercanda. Eh..." gue tergagap sambil berusaha ngejelasin. Dev sendiri masih berdiri sambil nangis dan megangin tas tangannya—erat banget.

Sebuah nada dering tiba-tiba terdengar dari arah Dev. Dia dengan tangannya yang masih gemetaran mengangkat telepon miliknya yang ternyata sumber nada dering tadi.

"Hha... Halo," suaranya serak menahan tangis.

"...."

"Nggak, gapapa," sanggahnya pada lawan bicaranya.

"...."

"Aku udah pesen taksi," ucapnya.

"...."

"Iya. Itu taksinya dateng," jawabnya di ujung telepon. Benar saja, taksi kosong datang dan tidak ada yang naik ke dalamnya. Positif itu pesanan Deviolita.

Deviolita melirikku dengan sudut matanya lalu berlalu dan menaiki taksi tadi. Meninggalkan gue dengan banyak pasang mata menatap keheranan dan dehaman yang kuhapal, milik Mama.

"Kamu apain anak orang, Dhana?" tanya Mama dengan penekanan di setiap katanya dan tangan yang menjewer telingaku.

"Aw! Ma, sakit! Aw!" rintihku. Mama sepertinya tidak peduli rasa sakit yang kurasakan. Telingaku terus ditarik menuju parkiran, menuju mobilku.

"Mama nyuruh kamu anterin anak itu bukan bikin dia nangis, Dhana!" kata Mama sewot.

"Aku juga gatau kenapa dia gitu, Ma" belaku untuk diri sendiri.

"Kamu tuh ya! Langsung pulang sekarang! Uang jajan kamu dipotong sebulan!" jerit Mama. Untung parkiran sepi, memalukan hey. Jadi gue manggut-manggut aja biar urusan cepet selesai. Tuh kan, Mama langsung balik

"Tunggu, uang jajan... Tadi Mama bilang apa? Uang jajanku dipotong sebulan? Ma!" respon gue telat. Mama udah ada di dalem mobil Papa dan sebentar kemudian ninggalin parkiran—ninggalin gue. Papa yang bawa mobil cuma mesem-mesem gak danta. Ah, rese banget sih.

**

Aku mengelap sudut mataku. Kaget bukan main. Saat seseorang –pria—menarik lengan atasku dan membisikkan kata halo di telingaku. Ternyata dia adalah Dhana, cowok yang mengalahkanku di sparring harian di ekskul taekwondo.

Sebal. Setelah membuatku malu dengan skor 12-0 waktu itu dia membuatku ketakutan dan malu di restoran tadi. Hari ini benar-benar hari yang buruk.

Kringg..

"Halo," kataku tanpa melihat caller ID yang tertera.

"..."

"Ah.. Gapapa kok, Yo. Gue udah di taksi. Salam buat Mamanya Tatyana ya," ucapku. Setelah itu telepon ditutup.

Jadi, aku ditinggal karena Tatyana tiba-tiba ditelepon sama mamanya buat ke rumah sakit. Papa Tatyana jatuh di kamar mandi terus pingsan. Sedikit nyesel sih tadi ngambek gitu sama Ariyo dan Tatyana. Untung belum balas dendam, hehe.

Badanku terasa lelah, pengennya cepet sampai rumah, segera. Duh, masih setengah perjalanan lagi buat nyampe rumah. Mata udah lima watt padahal nih.

Kringg..

"Halo," kataku tanpa melihat caller ID. Sepertinya itu udah jadi kebiasaan.

"Ini gue, Dhana," ucap si penelepon. Tiba-tiba tubuh gue menegang karena kaget denger suara cowok itu.

"Lo—" ucap gue tercekat dan ngga tau harus apa.

"Maafin gue, Dev. Gue bener-bener nggak sengaja," kata Dhana dari seberang telepon. Aku langsung menutup teleponku dan mencabut baterainya. Aku benar-benar kaget dan takut. Perlakuannya tadi mengingatkanku pada trauma yang selama ini ingin kuenyahkan.

"Dhana, lo brengsek," ucapku pelan seraya menghapus air mata di pipi.

                "Dhana, lo brengsek," ucapku pelan seraya menghapus air mata di pipi

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
PROTECTORWhere stories live. Discover now