Part 9

9 1 0
                                    


Kemarin dia matiin telepon gue gitu aja. Oke, gue memang salah tadi malem. Tapi kan gak jadiin dia punya hak untuk matiin telepon gue, seorang Dhana. Gue harus ngomong sama dia hari ini. Minta maaf dan dia harus maafin yang iya tuh.

Nah, itu dia, si Dev. Ngapain dia di depan ruang guru bareng Tatyana? Ah, dia temenan? Gak nyangka juga mereka temenan. Padahal genre mereka beda jauh lah.

"Halo, Dev! Halo, Tatyana!" tanya Marco dan teman-temannya yang kebetulan lewat. Dih, tuh anak bikin geli deh gombalannya. Dev hanya lewat tanpa memedulikan mereka.

"Dev! Sombong banget gak nyapa," keluh teman Marco. Dev hanya tersenyum dan melengos begitu saja. Bagus juga si Dev ngehindarin si Marco playboy itu. Tatyana sih ngikut-ngikut aja kayaknya. Untng si Marco dan gank abalnya langsung cabut.

Buat hari ini gue stalking-in Dev dulu aja deh. Bukannya pervert atau gimana, gue penasaran sama dia yang sebenarnya. Apalagi setelah dia ketakutan gara-gara gue kagetin.

"Selamat pagi, Pak Danu," sapa Tatyana sembari mencium tangan guru olahraga itu. Sapaan juga diberikan oleh Dev, tapi dia gak ikut mencium tangan Pak Danu. Dev malah mengangguk hormat kayak kebiasaan orang Jepang atau Korea. Heh, murid apaan tuh yang kayak gitu?

"Kamu mau nyari bukunya sekarang, Ta?" tanya Dev setelah Pak Danu berlalu.

"Sekarang deh. Kamu juga mau nyari buku Le Petite Prince kan?" jawab Tatyana. Mereka kemudian berbelok ke perpustakaan. Di perpustakaan gue ada buku dongeng Prancis itu? Saik lah. Oh iya, memang ada rak khusus buku dongeng di sana. Heran deh, udah SMA ada rak khusus dongengnya segala di perpustakaan. Oh iya, lagian di sini memang pelajaran bahasa asingnya Prancis sih.

Mereka masuk ke perpus dan gue sebagai stalker yang mumpuni mengikuti mereka dengan mudah. Mereka kayaknya gak tau kalau gue ngikutin mereka. Bagus deh.

Di dalam, mereka langsung misah. Tatyana langsung masuk ke jajaran rak ekonomi. Anak IPS yang rajin, kebalikan gue yang istirahat malah nguntit anak orang. Sementara Dev menghilang.

Wait...

Menghilang? Anjiiir, kalau mau ke rak dongeng kan lewat sini, kok dia nggak ada? Suddenly, I goosebumped. Jalan di sana ramai sama anak-anak cowok yang sibuk liat majalah otomotif karena memang itu rak majalah otomotif. Lewat situ pasti berasa naik bom-bom car desek-desekan gak keruan sama cowok bau keringet itu.

Kalau nggak lewat sini, Dev harus muter jalan lewat rak yang isinya atlas dan kamus. Artinya dia harus muter agak jauh. Masa iya? Gue mastiin jalur muter itu dan bener dugaan gue—yang sempet gue ragukan. Dia muterin rak atlas dan kamus buat ke rak dongeng. Kenapa?

"Dev?" suara seseorang bertanya pada Dev. Pak Seto guru bahasa Prancislah yang menyapa Dev di rak dongeng itu.

"Pak Seto. Pagi, Pak," sapa Dev sambil mengangguk. Pak Seto mengulurkan tangannya seperti guru-guru biasa lakukan saat bertemu murid. Untuk disalami tentu saja, biasanya seperti itu.

"Eh, bapak lupa. Pardon moi. Maaf," ucap Pak Seto lalu menarik tangannya. Lah? Apaan nih? Dev nggak mau salim ke guru? Durhaka banget tuh cewek.

"Saya yang harusnya minta maaf, Pak," sanggah Dev. Pak Seto menggeleng dan tertawa. Keduanya mengakhiri obrolan dan berpisah, meninggalkan Dev sendirian di rak dongeng. Mukanya begitu sayu dan sedih. Entah kenapa itu menyakiti gue.

Tunggu.

Kakak kelas bersapu tangan.

Modusan Marco di kantin.

Dia yang ketakutan karena gue.

Guru-guru yang enggan disalaminya.

Cowok-cowok di rak otomotif.

Rasanya semua itu berhubungan. Ah. Apakah...

"Dev," kata gue impulsif pada Dev. Jangan tanya bagaimana gue bisa berada di depan seorang Deviolita sekarang karena gue sendiri pun tak tahu.

"Kamu—" kata Dev dengan suara tercekat.

"I'm not gonna touch you," kata gue mencoba menenangkannya sambil mengangkat kedua tangan seperti adegan police-angkat-tanganmu. Dev dengan pandangan ketakutan namun postur defensif melirik ke kanan dan kiri. Tak ada siapapun di sini, itu pasti membuatnya ketakutan. Gue mundur beberapa langkah, memperlebar jarak. Sikap defensif Dev belum kendur sedikitpun.

"What d'you want?" tanyanya cepat.

"Maaf. Gue mau maaf dari lo atas kelakuan gue semalem," ucap gue pelan. Dia tidak menjawab dan gue bisa maklumin itu. Gatau juga sih kenapa gue bisa maklumin itu. Gitu aja terjadi.

"Gue nggak tau kalau lo gak mau atau takut? Di sentuh sama cowok, laki-laki atau apalah lo nyebutnya," kata gue karena dia diem aja sampai lama.

"Yaudah," ujar Dev singkat yang telalu singkat buat gue. Hei... I revealed your inadequacy, tho

"Gue dimaafin?" tanya gue memastikan. Gue pengen denger responnya, terlalu pengen denger responnya sih. Aapan juga nih gue?

"Lo dimaafin kalau lo gak cerita kesiapapun tentang itu atau bertanya ke gue tentang itu," katanya. Uh yeah, jawaban cukup panjang dan memuaskan tapi kurang memuaskan sih. Nanya apalagi ya? Gue masiih pengen ngobrol.

Kriing..

"Bel," ucapnya lirih.

"Lo nggak pengen tau kenapa gue bisa tau tentang itu?" tanya gue spontan.

"Lo ngikutin gue sama Tatyana dari tadi. Gue bukannya gak liat lo, cowok pervert," cibirnya sambil melangkah ke luar perpustakaan sambil mengecek ponselnya. Duh, gue ketauan dari tadi? Anjirr malu banget gue. Gue mengekorinya menuju kelas, walaupun letak kelas kami berbeda. Jalan bersama gitu membuat gue senyum-senyum sendiri.

"Gue penasaran, bukan pervert," jawab gue pada perkataanya. Dia mencebik entah apa.

"Penasaran kenapa?" tanyanya.

"Entah lah. Lo kuat—"

"Lo tau kalau gue kuat," cibirnya sinis ke gue. Ya ya ya dia meang kuat, tapi gak lebih kuat dari gue sih.

"Tapi gue pengen lindungin lo," kata gue meluncur begitu saja dari bibir tanpa melewati saringan. Kami yang sedang berjalan tiba-tiba berhenti. Dev berhenti. Gue bingung deh sama dia.

"Kenapa?" tanyanya lagi. Menanyakan alasan lagi.

"Gak tau. Gue bukan gombal Dev. Gue Cuma ngomong apa yang ada di pikiran gue. Kalau lo gak suka dengan itu, gue mundur. And, this isn't a confession," jelas gue ke dia. Jujur sekalipun dia kuat gue tetep pengen ngelindungin dia dan bukan karena gue centil atau gimana, perasaan itu tiba-tiba ada. Gue mau jadi temennya.

"I surely know that wasn't a confession," jawabnya lalu melanjutkan perjalanan ke kelas. Koridor masih ramai anak-anak yang menunggu guru tiba sebelum duduk manis.

"I want to be your friend, may I?"tanya gue polos.

"Boleh. Tapi mungkin akan sedikit sulit menjadi temen gue," ungkapnya setelah menilik mataku, lama. Kemudian dia berbelok menuju kelasnya tanpa mengucapkan apa-apa lagi. Meninggalkan gue yang bingung dengan kata-katanya.

**

PROTECTORWhere stories live. Discover now