Part 10

11 1 0
                                    


Pulangnya gue nunggu Deviolita di depan gerbang. Cuma nyapa boleh kali yah. Kalau langsung ngajak balik bareng kesannya gercep banget. Lagian gue mau temenan, bukannya ngecengin cewek itu.

Nah, itu dia yang gue tunggu lewat. Dia berjalan di pinggir tembok. Menghindari kemungkinan bersentuhan dengan cowok? Jantung gue berdetak lebih cepat. Pengin banget gue ke sana dan menghalangi cowok-cowok—yang sradak-sruduk pengen cepet keluar dari sekolah—yang mungkin menyentuh Deviolita. Tapi dia berhasil melewatinya dengan cepat, tanpa hambatan.

"Hai, Dev!" gue melambai ke Deviolita yang segera menyadari keberadaan gue di gerbang.

"Lo ngapain?" tanyanya sinis. Lah, gue disinisin gitu karena beneran dianggep temen atau dia memang sinis sama gue? Gue gatau harus seneng apa sedih.

"Lah gue mau nyapa temen gue, nggak boleh?" gue balik nanya ke dia. Dia memutar bola matanya.

"Gue mau balik," ucapnya masih dengan nada sinisnya.

"Gue gak nahan lo lho, Dev. Lo yangstuck di depan gue. Padahal kalau lo mau ngabaiin gue juga bisa," cibir gue sambil cekikikan. Dia merengut dan memunggungi gue. Ranselnya biru laut. Cocok buat dia yang seperti laut, dalamnya tak tahu sampai mana. Elah, puitis banget gue.

"Lo tau Tatyana gak?" tanyanya tanpa berbalik menghadapku. Aku mengangguk walau sadar dia nggak akan liat gue.

"Kok lo gak jawab sih?" bentaknya padaku sambil menengok ke arahku. Aku tertawa.

"Gue udah ngangguk, lo aja nggak liat. Makanya kalau ngomong sama orang ngadep ke orangnya," ucapku sambil menahan tawa.

Gue yakin dia menggerutu, dia juga tidak melanjutkan pertanyaannya mengenai Tatyana. Dia sibuk mengutak-atik handphone miliknya dan kerutan di dahinya bertambah. Gue jadi penasaran. Ah, penasaran lagi. Semua yang dilakukan gadis ini membuat gue penasaran.

"Ck," decaknya lalu menghadap ke gue dan pergi begitu saja. Gue ulangi. Pergi begitu saja.

"Heh!" panggil gue kenceng. Gak kenceng banget deh. Tapi harusnya dia denger. Jadi kalau dia tetep jalan tanpa menoleh ke gue ada dua kemungkinan. Dia budek atau dia sengaja mengabaikan gue. Pilihan kedua lebih masuk akal karena gue gak menemukan tanda-tanda kalau dia tuna rungu selama proses untit-menguntit tadi.

Akhirnya gue jalan ngikutin dia. Untung gue gak bawa motor soalnya ternyata dia naik bis jadi gue bisa ngikutin. Gue tau dia tahu kalau gue ngikutin dia. Mungkin dia belum nyaman sama gue jadi gue Cuma ngikutin dan merhatiin dia dari jauh. Jarak satu meter jauh kan?

Beruntung juga gue gak diteriakin penguntit sama dia. Habis gue sama orang-orang yang ada di bis ini. Wajah gue yang tampan bisa babak belur.

Kegiatan penguntit-menguntit-korban-yang-tahu-sedang-dikuntit ini mulai menarik ketika segerombol anak SMA "berandal" masuk. Gue pasang badan di sebelah Dev. Naluri?

"Lo apaan sih, Dhana?" tanyanya risih.

"Gue jadi tameng supaya lo gak kena cowok-cowok itu," ucap gue santai.

"Lo terlalu deket."

"Maaf. Gue cuma—"

"Jaga jarak aman."

"Yaampun emang gue sama lo truk?"

"Gue oke-oke aja dibilang truk."

"Lo lebih mirip mini cooper."

"Sialan."

Dan gue tertawa melihatnya mengumpat. Dia memandang jauh keluar bus dan diam. Dia tidak nyaman, gue tau banget. Tapi dia bertahan. Deviolita.

Վ&<>

PROTECTORWhere stories live. Discover now