Part 15 [Our Love]

31.9K 1.6K 17
                                    

Airen Side

Aku memegang dadaku aneh, dan memejamkan mataku memegang sisi jendela kamarku. Tidak, maksudku kamar yang berada di apartemen guru aneh itu.

Aku gila, yah gila. Hawa malam masuk melalui jendela, membuat rambutku berterbangan tak menentu.

Aku gila, sudah gila. Bagaimanapun, ini adalah hal yang salah!

Ini pertama kalinya untukku. Bodoh, kenapa aku seperti ini? Aku mempermalukan diriku sendiri dihadapan orang itu!

Tiba tiba, pipiku terasa dingin. Apa ini?

Aku menghadap kearah sebuah tangan yang menempelkan kaleng minuman di pipiku.

Ah, guru aneh itu.

"Apa yang kau pikirkan?" tanyanya memberikan kaleng minuman kepadaku, dan duduk di sampingku. aku hanya mendengus dan kedua tanganku kini memegang sisi bawah jendela. Angin masih berhembus kencang, menyisahkan gawa dingin yang memasuki ruangan ini.

"Tidak ada" ucapku mengambil minuman itu, membukanya, lalu meminumnya.

"Apakah kau memikirkan kejadian tadi?" tanyanya, aku mengangguk. Ia berdiri dan merangkul pundakku. Astaga, mengapa semua terasa sangat nyaman?

"A-aku sepertinya sangat pengecut. Maafkan aku, hingga kau mau menyatakan perasaanmu duluan. Ini semua salah-"

"Menyatakan perasaan itu adalah hak. Aku juga tidak menuntut kau mengakuinya. Hanya saja, tadi aku ingin memastikan perasaanmu agar aku tidak menyukaimu secara sepihak. Aku tidak mau mengambil resiko jika sewaktu waktu perasaanku tak terbalaskan" ucapku, aku dapat mendengar jika ia tertawa ringan. Apa? Apa ia menganggap ini pengakuan dari seorang bocah?

"Aku tahu, ini-"

"Kau terlalu naif, Airen. Kau mau mengejar Hans yang notabenya tidak membalas perasaanmu. Tapi kau tak ingin mengambil resiko atas diriku" ucapnya. Dapat kurasakan cengkraman tangan yang mengencang. Ia bahkan marah walau hanya menyebutkan nama Hans.

"Berbeda, Mr. Steven. Aku menyukai Hans sebagai pelampiasan agar aku ingin kesekolah. Sekolah tak akan indah jika tidak ada cinta bukan? Seperti itulah diriku. Katakan aku wanita tidak tahu diri, tapi tak ada jalan lagi" ucapku, ia hanya mengangguk.

"Lalu, perasaanmu kepadaku itu sebagai bentuk apa? Apakah juga pelampiasan?" tanyanya, aku menggeleng sebentar. Aku menatap kearah pemandangan jendela, yang menampilkan cahaya transpotasi di jalan. Semua terlihat kecil, dan itu sudah indah menurutku.

"Aku mencintai dirimu, karena itu kau" ucapku, dan kemudian menatap kearah guru aneh itu. Ia menatap kerahku terdiam, lalu tersenyum dan mengacak acak rambutku.

"Sekarang, aku butuh pengakuanmu, Guru aneh" ucapku, ia berhenti mengacak acakkan rambutku, dan menatap kearah jendela. Jendela kamarku cukup besar, jadi pemandangan akan terpapar jelas disini.

"Aku sebenarnya menyukaimu, tidak, bahkan mencintaimu sejak awal. Saat kita bertatapan dalam jarak dekat. Saat matamu dan mataku bertemu dan ah semua tampak indah. Seakan, keindahan dunia memasuki mataku. Aku sendiri tidak bermaksud mengatakan omong kosong. Bagaimanapun, aku tak mau membohongi perasaanku sendiri" jelasnya, aku tersenyum dan menggengam tangannya dan menatap lurus kearah jendela.

Aku kembali tersenyum, ia mau ternyata mengungkapkan perasaanya. Tapi, bagaimana dengan Raina?

"Bagaimana dengan Raina? Dan bagaimana dengan perbandingan umur kita yang terpaut jauh?" tanyaku, ia hanya mendengus dan melepaskan genggaman tanganku, menyentuh kedua pundakku dan memelukku.

Hangat, nyaman dan lega. Mengapa saat aku memeluk sahabat sahabatku aku tidak merasakan ini?

"Aku tidak peduli dengan Raina. Ia sudah kuputuskan sejak awal. Dan urusan umur, aku tak peduli" ucapnya dan mengelus rambutku. Dagunya yang berada di pundakku membuatku sangat nyaman. Guru ini seperti membiusku.

"Tapi jika kita menjalin sebuah hubungan, apalagi ke jenjang lebih serius, yang kutakutkan adalah reaksi orang tua kita" ucapnya, aku memilih melepas pelukannya dan memegang lengannya, memandangnya secara dekat. Kenapa semua terkesan romantis?

"Ibuku, ia bahkan menyuruhmu menikahiku. Kau pernah bertemu dengannya bukan?" ucapku, ia menatap kearahku berbinar.

"Benarkah? Ayahku aku yakin tak akan pedulu dengan siapa aku akan menikah. Apa artinya kita mendapat pesetujuan?" ucapnya antusias, aku mengangguk. Ia kembali memelukku dengan erat, dan mengguman kata 'terima kasih' kepadaku. Ini keren, sangat keren!

"Jadi.." katanya terpotong, dan melepaskan pelukannya, menatap kearahku sebentar dan menatap mataku.

"Kau mau menjadi pacarku? Kekasihku? Mau?" tanyanya memohon, aku hanya tertawa dan mengangguk. Ia pria yang cukup lucu.

Aku menghadap kearah jendela, dan kembali melihat kearah pemandangan. Tak lama, aku merasa kepalanya bersandar di pundakku. Dan aku? bersandar diatas kepalanya.

"Rasanya nyaman saat berada didekatmu" ucapnya, aku hanya tertawa ringan.

"Ah ya, kau bilang kau ingin mengajariku matematika? Mana janjimu?" tanyaku, ia mengangkat kepala dan terasenyum kearahku.

"Ayo, mungkin sekarang akan lebih menyenangkan" ucapnya, aku hanya mengangguk.

Pada akhirnya, kami belajar matematika tanpa peduli ini sudah malam.

Belajar bersama...

My Posesive TeacherWhere stories live. Discover now