Part 21 [I'll Choose]

24.3K 1.3K 4
                                    

Airen Side

"Aku pulang!" ucapku, membuka sepatuku dan melempar tasku entah kemana.

Semuanya terlihat biasa saja.

"Airen.." panggil ibu, aku menengok kearahnya, dan ia menyilangkan tangan didepan dadanya.

Ada apa ini?

Aku berjalan mengikuti ibu, dan ternyata ibu melangkah menuju ruangan ayah.

Sepertinya ada sesuatu yang penting!

"Ayah dan ibu ingin mengatakan sesuatu. Kuharap, kau menerimanya" ucap ibu yang masih memegang gagang pintu ruangan ayah, aku mengangguk.

Ibu membuka ruangan ayah, dan masuk disusul olehku. Aku melihat ayah duduk disofa dengan dua cangkir teh dan secangkir susu. Pasti itu untukku.

Tapi, jika ada konversasi keluarga semacam ini, pasti ada hal yang cukup penting. Dan sangat penting, dan jika melibatkan aku, berati akulah subjek konversasi ini.

Berati, akan ada hal yang terjadi. Biasanya, diluar pikiranku.

Ibu duduk disamping ayah, sedangkan aku duduk berhadapan dengan mereka. Kami bersinggung tatap dan ayah terlihat gelisah sekarang. Benar, pasti ini informasi yang tak ku suka.

"Airen.." panggil ayah lembut, aku menatap kearah ayah. Jujur, melihat ayah seperti sekarang ini membuatku cemas. Aku sangat menyayangi ayah, dan aku akan menuruti perintah ayah.

Bahkan yang tersulit sekalipun.

"Katakan ayah, apa yang ingin kau katakan. Aku akan mendengarkanmu" ucapku, ayah hanya mengangguk. Menghembuskan nafas sebentar, dan menatap kearahku lagi.

"Kemarin, bibi Cloude memberi tahu ayah jika Mark akan pergi ke United Kingdom. Kau tahu itu bukan?" tanya ayah, aku mengangguk.

"Dan bibi Cloude mengatakan, jika ia ingin.." ucap ayah terpotong. Ia menatap kearah ibu cemas, dan ibu hanya mengangguk.

Benar, pasti ini tenang kepergian Mark.

"Kau tinggal di rumah bibi Cloude" ucap ayah, aku hanya diam. Tinggal, dirumah, bibi, Cloude? Itu..

Artinya, aku akan pergi ke Netherland dan tinggal jauh dari ayah. aku harus meninggalkan rumah ini. Aku harus meninggalkan ayah dan ibuku. Aku harus meninggalkan Nara Jemny. Aku harus meninggalkan guru aneh itu.

Meninggalkan guru aneh itu? Itu hal yang mengerikan bukan?

"A-ayah, kau pasti bercanda" ucapku seraya menggelengkan kepalaku. Ini pasti akan sulit bagiku, dan sepertinya tidak bagi guru aneh itu.

"Ayah tidak bercanda, apakah ekspresi ayah sekarang seperti orang yang sedang bercanda?" ucap ayahku, aku hanya menatapnya nanar. Aku menatap ibu, sedangkan ibu hanya mengangguk.

Benarkan, pasti ini akan sulit bagiku.

"Kenapa aku harus kesana, Ayah?" tanyaku, ayah kembali menghela nafas.

"Mark pergi ke UK, dan sekolahnya di Netherland meminta pengganti Mark. Jadi kau harus kesana" jelas ayah, aku kembali terdiam. Ini..

Ayahku menatapku penuh harap, dan ibuku hanya tersenyum kearahku. Ayah, kau membuatku untuk memilih sebuah pilihan.

Cinta, atau masa depan.

Harapan, atau ketidak pedulian.

Ayahku menyimpan harapan yang besar untukku, dan sekarang guru aneh itu sudah tidak peduli denganku.

"Baiklah, aku akan menerimanya." ucapku, ayah bernafas lega. Aku melihat, ayah dan ibu saling bertatapan dan tersenyum satu dengan yang lain. Sedangkan aku, hanya berpikir tepatkah pilihanku ini?

"Kapan aku akan pergi?" tanyaku, ayah hanya tersenyum.

"Semua suratnya sudah beres. Jadi, tidak akan lama" ucap ayah yang membuatku menegang. Secepatnya kah?

"Empat hari lagi"

"Apa?!"

***

Malamnya, aku menatap kearah buku matematikaku miris. Sangat miris.

Sebentar lagi aku akan pergi, sedangkan aku memiliki hubungan yang seperti ini.

Apakah waktu bermaksud mempermainkanku? Semua tidaklah lama dan berlangsung singkat. Apakah aku harus mengucapkan perpisahan?

Aku melihat kearah jadwal. Besok, ada pelajaran matematika. Dan lusa, juga sama. Dan esoknya lagi?

Tidak ada!

Jika besok aku bisa mengatakan padanya, aku akan mengatakan padanya. Mungkin, hanya untuk berpamitan. Dan saat aku kembali nanti, mungkin guru aneh itu dan Miss Haly akan menikah.

Akan. Menikah.

Uh, sesak rasanya. Tapi, mungkin di Netherland aku akan bertemu orang yang lebih baik dari guru aneh itu.

Tapi sebenarnya, aku juga sedikit tak rela untuk pergi ke Netherland. Entahlah apa itu.

Aku menyandarkan tubuhku di kursi meja belajarku, dan menatap kearah lampu belajar. Semuanya bersinar. Menyinari gelapnya ruangan ini.

Seperti ia menyinari kebodohanku.

Aku membuka mataku, dan mengepalkan tanganku. Besok, aku harus memberi tahunya. Besok, aku akan berusaha..

My Posesive TeacherWhere stories live. Discover now