1. Seteguk Perkenalan

314 22 3
                                    

Yogyakarta, 2016

Hangatnya senja perlahan mulai terhapuskan, langit merah jingga berganti hitam kelam dengan sedikit berkas bintang.

Purnama yang sejak tadi datang bersinar terang, memancarkan cahaya temaram. Jangkrik yang bernyanyi secara berirama saling bersahutan bercengkrama dalam kesunyian.

Langkah kakinya terlihat tergesa-gesa. Bibirnya tak berhenti tersenyum, membayangkan betapa nikmatnya ketika ia menghirup aroma secangkir kopi tubruk.

Sorot matanya berbinar kala melihat objek yang sangat mengundang benak untuk segera sampai di sana.

Tubuh lelahnya tak urung membuat semangatnya turun. Tenda pinggir jalan ini terlihat ramai dengan orang yang hilir mudik untuk masuk dan keluar. "Angkringan Pak Suripto" tulisan ini semakin jelas saat dibacanya, meskipun warnanya telah pudar. Namun tak mengurangi eksistensi warung tenda tersebut.

"Pak, biasa ya."

"Siap mbak!"

Warung ini berdiri sejak tahun 80-an. Semenjak ia duduk di bangku SMA, ia sudah menjadi pelanggan tetap di warung ini. Orang menyebutnya angkringan. Warung tenda pinggir jalan yang identik dengan gerobak atau alat dan tempat jualan makanan keliling yang pikulannya berbentuk melengkung ke atas.

Kumpulan meja dan peralatan masakpun terlihat bersih dan nyaman, membuat siapa saja betah untuk berlama-lama di warung ini yang biasa beroperasi saat sore hingga malam hari.

Dengan pendirinya yang tak lain ialah Pak Suripto yang sering melayani kopi, sedangkan istrinya yaitu Mbah Dini, melayani bakmi nyemek pesanan para pelanggan.

Tangannya membuka halaman buku jurnal yang sedari tadi dibawa. Menjadi seorang mahasiswa, mengharuskannya untuk membaca buku-buku tebal, membuatnya tenggelam dalam ruang semu berisikan tugas-tugas dan kata-kata yang menjebaknya bak di dalam labirin.

"Niki mbak, monggo dinikmati," kata si bapak tua yang memberi secangkir kopi kepada seorang mahasiswi.

"Terimakasih mbah," jawabnya bergairah dan buru-buru ia mengangkat cangkir kopi dan menghirupnya dalam-dalam.

Nikmat... ungkapnya dalam hati.

Sambil mencium aroma kopi kesukaannya, ia menatap jalanan kota Yogya yang ramai, nampak andong dengan gaya khasnya sembari memantulkan suara tuplak-tuplak yang berasal dari sepatu pelananya, ada pula tukang becak yang berpenumpang ada pula yang tidak. Sesekali ia menyeruput kopi.

Sruput-sruput, kopi tubruk.

Kopi yang khas dengan warna, rasa, dan aroma khas. Saat teman-teman kampusnya memilih nongkrong di cafe dengan sajian kopi mahal serta penyajian yang unik, namun berbeda dengan dirinya. Pasalnya ia lebih memilih kopi tubruk angkringan Pak Suripto.

Jari lentiknya membuka halaman pertama, yang tertulis namanya dengan jelas "Ranti Abhinaya". Nama ini diambil dari salah satu tanaman, tepatnya meranti.

Konon, saat sang Ibu sedang mengandung, beliau selalu memperhatikan dan merawat pohon tersebut dengan baik. Dan tercetuslah sebuah nama yaitu "Ranti". Lembut, dan sederhana. Sedangkan Abhinaya diambil dari bahasa sansekerta kesukaan sang Ayah, yang berarti semangat. Dan memang benar, Ranti selalu bersemangat saat melakukan sesuatu.

Ranti Abhinaya, seorang mahasiswi jurusan psikologi disalah satu perguruan tinggi negeri ternama se-Indonesia.

Ialah gadis yang akrab dipanggil Ranti oleh teman sekampusnya.

Ranti terkenal cerdas dan cermat dalam hal apapun, ia pandai dalam memecahkan suatu masalah walau penuh teka-teki karena ia dapat menelusuri sampai ke akar permasalahan hingga ia benar-benar mengetahui kausalitas suatu problematika sebelum ia melangkah untuk menyelesaikan masalah.

Secangkir Kopi RinduWhere stories live. Discover now