6. Debat Pengemis (B)

76 6 4
                                    

Bayu yang terlihat santai dan kalem, khayalan dalam otaknya tak terusik sama sekali oleh keadaan sekitar.

Ya ampun, Ranti bener-bener cantik banget hari ini, begitu kira-kira isi khayalan seorang Bayu Estungkara.

Setelah puas berceloteh di depan kamera sambil menjelajahi Candi Prambanan, Wulan dan Rama menghampiri teman-teman yang lain.

Setelah saling berpencar, mereka sudah berkumpul kembali,
"Makan yuk, aku laper banget nih," adu Wulan sambil memelas.
Ranti terkekeh halus mendengar permintaan Wulan. Dasar, temannya itu tak tahu tempat saja untuk mengeluh.

"Iya, ayo Lan. Kalian, mau ikut juga?" merasa tak tega melihat temannya yang harus segera diberi energi kembali akhirnya Ranti mengiyakan permintaan Wulan.

Semuanya setuju untuk pergi makan bersama.

Mereka berjalan meninggalkan kawasan Candi Prambanan. Rama dan Reza yang memimpin jalan di depan, dilanjut oleh Wulan.

Ketiganya sibuk mendebatkan hal yang tak penting dan sesekali mereka tertawa, entah ada hal lucu apa.

Sedangkan di belakang, Ranti dan Bayu berjalan bersisian tanpa suara, mereka tidak mengobrol, hanya saja mata keduanya berlalu-lalang, masih melihat-lihat candi.

Saat berjalan, hidung Ranti mencium sesuatu yang tak asing bagi indra penciuman, langkahnya terhenti.

"Aroma parfumnya, kaya cowok yang waktu itu." batin Ranti mencoba mengingat-ingat, ia bingung, apa sosok yang waktu menolong nya dari seekor anjing adalah Bayu?, Ia benar-benar tidak tahu.

Bayu merasa aneh, melihat Ranti yang tiba-tiba berjalan disampingnya dan tertinggal dibelakang, mengerutkan keningnya dalam, dan ikut berhenti untuk melangkah, ia menengok ke belakang,

"Kamu kenapa Ran? Sakit? Apa  Perlu saya gendong?"

Ranti berhenti mengingat, lalu  menggeleng,
"Eh, gak papa kok. Ayo Bay kita ketinggalan sama yang lain." Bayu mengangguk, dan mereka kembali berjalan bersampingan.

Bukan Bayu namanya jika ia tidak kepo, saat mereka berjalan bersisian lagi, seringkali Bayu melihat wajah Ranti. "Aneh nih, kenapa ya, dia?" pikirnya.

Ranti yakin, ia tak bohong. Ingatannya kuat, bahkan aroma parfum laki-laki yang menolongnya kemarin masih terekam di otak Ranti.

Saat ia dikejar-kejar anjing. "Tapi masa iya, kalau itu Bayu.?" Ranti terus menyangkal atas tanda tanya besar yang mengganjal otaknya.

Tak jauh dari pintu keluar Candi Prambanan, lima meter di depan Ranti terlihat seorang wanita paruh baya yang menggunakan baju lusuh menadahkan tangannya keatas sambil membawa anak.

Hal itu membuat Ranti menjadi iba. Saat melewati ibu tersebut, Ranti memberi selembaran uang sepuluh ribu sambil tersenyum. Bayu melihat hal tersebut kaget bukan main.

Baru saja Bayu membuka mulutnya untuk memprotes hal tersebut, namun suara Wulan yang menginterupsi membuatnya urung untuk bicara.

"Kalian jalan lama banget sih, ayooo aku udah laper banget ini ... " omel Wulan.

"Sabar dong lan.." kata Bayu menenangkan.

***

Tempat makan yang dipilih mereka adalah sebuah rumah makan khas Jogja, menu yang tersedia adalah masakan rumahan, dengan harga yang sangat ekonomis. Maka tak heran rumah makan ini terlihat ramai. Penyajiannya pun sangat unik.

Layaknya seperti di hajatan pernikahan, di rumah makan yang mereka kunjungi, para pembeli mengambil makanan sendiri.

Seperti biasa, sebelum makan Ranti berdoa semoga makanan yang ia makan kali ini menjadi berkah.

Semua terlihat khidmat dengan makanannya masing-masing. Dentingan piring dan sendok yang saling beradu memecah suasana hening di antara mereka.

Bayu yang gatal ingin membicarakan sesuatu, langsung angkat suara,
"Ran, kamu kok ngasih uang ke pengemis tadi? Bukannya kita gak boleh manjain pengemis seperti mereka ya?"

Orang-orang yang dimeja itu terkejut dengan ucapan Bayu. Terlebih, mereka tidak paham apa yang dimaksud oleh Bayu.

Ranti yang hendak menyuapkan makannya, namun tidak jadi.

Tangannya yang memegang sendok melayang diudara. Ranti menurunkan kembali sendoknya, dan meminum beberapa teguk air putih yang ada dihadapannya untuk melegakan tenggorokan.

Ia sedikit menjauhkan piringnya dari jangkauan. Kali ini, obrolannya akan menjadi panjang menurut nya. Dan Ranti merasa sudah kenyang.

"Memang nya, kenapa kalo aku ngasih uang ke pengemis, Bay?" Ranti balik bertanya pada Bayu, sebelum ia menjawab pertanyaan Bayu.

"Menruy pendapat ku, nanti mereka itu jadi kebiasaan untuk meminta Ran, gamau kerja keras," tukas Bayu. Ranti mengerutkan area dahi, ia sedikit heran.

"Saya memberi mereka sebagian uang saya untuk membantu mereka. Yaa minimal, membantu mereka untuk makan hari ini." Kata Ranti.

Bayu tidak setuju, "Tapi kan kita gatau, mereka itu beneran pengemis atau bukan. Gimana kalo ternyata mereka punya harta yang belimpah, rumah dan mobil yang mewah?"

Wulan, Rama dan Reza yang diam melihat perdebatan diantara Ranti dan Bayu. Mereka tahu, keduanya akan sulit untuk mengalah.

Biasanya Rama yang hobbi berdebat, namun kali ini tidak seperti itu.

"Awalnya yang membuat persepsi bahwa kita tidak boleh memberi kepada pengemis karena mereka kaya itu adalah masyarakat dan media masa Bay.

Satu saja kita menemukan yang salah dimata masyarakat. Maka mereka dengan enaknya mencap semua itu sama sperti yang mereka lihat,"

"Memang kita sebelum memberi harus ngecek satu-satu gitu Bay? Atau harus berpikir lima kali sebelum memberi kepada mereka? Repot. Dan pada ujungnya, kota tidak jadi memberi karena banyaknya perdebatan yang ada di dalam otak kita. Lagipula, saya tidak memandang setiap pengemis itu kaya raya. Terlepas dari apa yang kita lihat dari penampilan mereka Bay. Dan juga, ga semua pengemis itu aslinya kaya raya. Kita tidak tahu, pengemis itu memang benar membutuhkan uang hingga rela menjadi pengemis atau sekedar iseng untuk mendapatkan uang tanpa mau bekerja keras, padahal aslinya dia punya harta yang berlimpah. Saya juga ikhlas memberi mereka uang terlepas apakah mereka kaya atau tidak. Dan jika memang pengemis yang tadi mempunyai harta yang berlimpah, yasudah biarkan. Apakah saya akan kembali menemui pengemis taadi dan meminta uang saya untuk kembali? Tidak. Untuk apa? Biarkan itu menjadi urusan mereka dengan yang diatas."

Semuanya takjub, apalagi Rama "Subhanallah ... " suaranya yang cukup keras membuat orang yang dimeja itu terlonjak kaget.

Bayu terkekeh, mengaku kalah oleh argumennya.
"Kamu benar, Ran."

Hari mulai sore. Sinar senja mulai menampakkan gurat-gurat keindahannya. Pelanggan di rumah makan hilir mudik hendak pulang ke rumahnya masing-masing.

Ibu Ranti sudah mengirim pesan singkat, agar ia cepat pulang.

"Pulang yuk, udah sore tau," Ajak Ranti kepada Wulan. Wulan dengan cepat menganguk.

Otaknya sudah membayangkan betapa nikmatnya pulau kapuk yang ada dikamarnya, juga air shower yang mengalir membuatnya ingin segera sampai rumah.

Saat hendak beranjak dari tempat duduknya, lagi-lagi Bayu menghentikan Wulan dan Ranti yang akan beranjak pergi.

"Kita anterin pulang, ya?" tawarnya pada Ranti dan Wulan.
"Gausah kali, kita pesen ojeg aja," tolak Ranti.

Rama berpihak kepada Bayu.
"Ojeg mah lama, bener kata Bayu, kita anterin kalian yaa," sergah Rama.

"Yaudah deh, lagian aku capek banget pengen cepet sampai rumah." Ranti yang mendengar kalimat Wulan hanya menghembuskan napasnya kasar.

"Ranti. saya antar kamu ya," dan kali ini, Ranti lebih terkejut karena mendengar ucapan Bayu.

"ayo Ran," belum Ranti menjawab ajakan, Bayu sudah menarik tangan Ranti. Meninggalkan yang lain.

"Yah, padahal gue mau tau rumahnya,"  ucap Rama di dalam hati, ia menyesal karena kalah cepat dengan Bayu.

Secangkir Kopi RinduTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang