9. Pesan Pertama

20 4 0
                                    

Ranti memandang langit-langit kamarnya. Bibirnya bersenandung pelan, mengikuti irama lagu yang keluar dari laptop nya. Mungkin malam ini adalah malam terbebas nya selama kurang lebih dua tahun dia menyandang sebagai mahasiswi.

Tanpa tugas, tanpa praktikum, tanpa paper, tanpa kuis, dan tanpa-tanpa lainnya. Dan... Tugas UKM Jurnalistik yang ditimpakan kepadanya sejak minggu lalu, sebelum acara festival sudah selesai. Benar-benar bebas! batinnya.

Jari jemarinya sesekali membalas pesan online yang dikirim oleh Wulan dan teman-temannya. Namun selama lima belas menit tidak ada tanda-tanda Wulan akan membalas kembali pesannya. Mungkin lagi nugas, pikirnya.

Bosan karena terus berdiam diri dikamar nya, Ranti memutuskan untuk turun dari kamar. Diujung tangga, ia bisa melihat ibunya sedang menonton tv. Lebih tepatnya acara talkshow yang di bawakan oleh dua orang host, satunya berambut panjang dan sedikit pirang, satu lagi berkacamata, sesekali ibunya tertawa kecil karena tingkah lucu yang dibuat oleh para host di acara tv.

Dengan langkah kaki pelan yang tak menimbulkan suara, Ranti memeluk ibunya dari belakang. Ia menautkan tangannya di leher ibu. Membuat sang ibu kaget setengah mati, untung beliau tidak mempunyai riwayat penyakit jantung.

Ranti hanya menyengir, menampilkan deretan gigi putihnya yang rapih. Ia memilih untuk melangkah ke pinggir ibunya yang duduk di sofa, lalu duduk pas di sebelahnya. "Kenapa to nduk?" tanya sang ibu, sambil mengelus rambut Ranti lembut.

"Kangen.." Ibunya tersenyum simpul. Sebagai mahasiswi, beliau paham bagaimana sibuknya Ranti. Saat setelah Ranti mengucapkan kalimat kangen, aroma kopi langsung menelusup ke dalam indra penciuman ibu, sontak saja itu langsung membuat ibunya menjadi geram.

"Habis minum kopi, kamu?!" Haduh. Ranti langsung kaget saat ditanya seperti itu, matanya langsung terbelalak, bingung mau jawab apa, karena memang benar, kalau tadi, ia habis meminum secangkir kopi.

"Hehe" Ia kikuk, bahkan sangat kikuk. Ia menggaruk jidat yang sebenarnya tidak gatal sama sekali seraya nyengir dan mukanya yang takut kena omelan ibu, "eng..— iya Bu, aku tadi habis minum kopi. Tapi cuma sedikit doang, soalnya aku penasaran sama kopi dari kiriman ayah yang katanya khas Eropa, enak loh Bu..." percayalah, kalau kalimat nya tadi, ia sedang mencoba untuk membela diri dengan cara halus.

"Enak, kamu bilang?! Enak masuk rumah sakit maksudnya?" ibunya berkata demikian karena trauma akan anaknya yang sempat di rawat karena penyakit maag sehabis meminum kopi berlebihan.

"Yah.. ibu. Jangan bilang begitu dong. Sayang... deh, sama ibu. Aku janji, ngga minum kopi sering-sering lagi kok." Ia mencoba untuk meredakan amarah sang ibu sebelum memuncak dengan memeluknya erat. Semoga saja ia berhasil.

Ibunya membuang nafas dari mulut, lalu membalas pelukan anaknya.
"Bener ya, kamu janji? Kamu itu anak satu-satunya.. Dan ibu ngga tega, ngeliat kamu dirawat, kaya waktu itu"
"Hmmm. Iya Bu, Ranti janji!" Ibunya mengelus lembut putrinya itu. Sebagai anak tunggal, membuat Ranti mendapatkan semua kasih sayang kedua orang tua. Ia rindu saat-saat seperti ini.

Dulu, sehabis salat magrib dan makam malam, ia biasa menemani ibunya menonton tv sambil mengerjakan tugas. Jangan tanyakan keberadaan Ayahnya. Beliau sibuk di sebuah kota tepatnya daerah benua putih sana, mengerjakan proyek besar, katanya. Tetapi dikabarkan lewat video call kemarin sore, ayahnya sedang dalam perjalanan pulang menuju Indonesia. Ya.. Ranti tidak sabar lagi menahan rindu dengan sang ayah, semoga saja.. waktu mempercepatnya, untuk mereka segera bertemu.

Saat ibunya asik menyaksikan tingkah laku jahil para host kepada bintang tamu di televisi, ia hanya tertawa kecil, sedangkan ibu tertawa-tawa sampai mengeluarkan air mata, namun tawa itu dibuyarkan oleh Ranti dengan sebuah pertanyaan, "Buk, Mas Aksa jadi buat numpang disini?" tanyanya yang mendongak ke muka sang ibu.

Secangkir Kopi RinduWhere stories live. Discover now