#27 Rush Day (2)

17.7K 3.1K 389
                                    

Honesty is a very expensive gift. Do not expect it from cheap people. — Warren Buffet

 — Warren Buffet

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Aku menumpukan kedua tangan pada pagar besi berwarna putih yang ada di rooftop kampus malam ini

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Aku menumpukan kedua tangan pada pagar besi berwarna putih yang ada di rooftop kampus malam ini. Kurasakan udara sejuk dari penjuru kota menyapa tubuhku saat aku tiba di tepi. Perlahan, semilir angin malam meniup rambutku hingga sekumpulan helaiannya bergerak manja menutupi sebagian wajahku.

Tanpa repot-repot mengeluarkan ikat rambut dari saku, kedua tanganku terangkat untuk menata dan menyibakkan rambut, yang bergerak acak, ke belakang telinga. Namun, sepertinya rambutku terlalu menarik bagi angin. Kuabaikan begitu saja ketika angin kembali mengacaukan tatanan rambutku dan membiarkan helai rambutku melambai mengikuti angin. 

"Ini pasti akal-akalan mereka aja buat ngisengin gue." Dalam sadar, aku berbicara dengan diri sendiri tentang apa yang baru saja terjadi; ketegangan di basecamp dan keterkejutan di koridor. "Iya, kan? Lagian juga mana ada Doyoung masih naksir gue? Kita udah selesai sejak dua tahun yang lalu dan kita... putus secara baik-baik."

Namun, faktanya, frasa putus secara baik-baik bukannya membuatku semakin yakin kalau kami benar-benar biasa setelah berhenti berhubungan, malah membawaku pada ingatan dua tahun yang lalu. Di sini. Di rooftop ini, pukul sembilan malam, tepat setelah rapat himpunan malam itu selesai.

Waktu itu, dengan wajah lelah seperti yang baru saja kulihat di basecamp, Doyoung berdiri di sini. Dia menatap jauh pada keramaian ibukota di bawah sana, membiarkan terpaan angin malam mengacak rambutnya yang sudah kacau sejak rapat berakhir. Tangannya memegang pegangan pada pagar besi ini dengan tegas.

Setelah menghela napas sebentar, dia berkata, "Rin, ayo putus."

Menyakitkan. Itu kalimat pertama yang meluncur dari mulutnya setelah dia mengabaikanku dalam kesunyian selama hampir setengah jam di sini. Suhu udara malam di atas sini seolah turun drastis mencapai angka minus. Sepertinya tidak lagi menusuk tulang-tulangku, tetapi sudah menusuk sampai ke jantung.

Aku diam, menahan semua perasaan yang ada dalam dadaku. Sekecil apapun, aku tidak ingin memunculkan perubahan emosi yang terjadi akibat ucapan Doyoung yang terasa menamparku. Aku perlu memastikan kalau dia hanya bercanda atau menguji ketahananku saja.

[1] Seminar ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang