[Phase 1-1] Hutan Lior

532 84 28
                                    

Desir angin dingin menerpa kulit Aurora yang kini memucat. Membangunkan rasa takut yang diam-diam menguasainya. Ini jelas bukan mimpi.

Bintang biru yang berpendar di atas sana terlampau nyata. Begitu juga dengan julangan pohon tinggi berdaun toska yang belum pernah ia lihat sebelumnya. Demikian pula dengan seorang lelaki berwajah dingin dan seorang wanita berwajah galak yang berdiri tak jauh darinya. Sama-sama mengamati keadaan sekitar.

"Apa-apaan ini?" Ia mendengus gusar. Matanya langsung awas mengamati dua orang asing yang ada bersamanya di hutan. Tangannya mengenggam kuat pistol yang masih ia pegang. Setumpuk pikiran membanjiri otaknya. Mencari-cari jawaban akan apa yang sebenarnya tengah terjadi.

G2 masih di tangan. Peluru sisa empat belas. Gue masih punya peluru cadangan di kantong, tapi selain itu gue nggak bawa apa-apa. Sialan! Siapa mereka?! Benaknya tak tenang.

Ketiganya saling memandang. Sekitar sepuluh langkah di samping kiri Aurora, wanita yang memakai jaket kulit dan celana kargo berwarna serba hitam tak henti menatap ia dan si lelaki dengan tatapan membunuh.

Seolah-olah ia siap menebas keduanya sedikit saja mereka bergerak, sedang si lelaki berjaket jeans biru memandangi keduanya dengan tatapan dingin. Netranya berpindah-pindah ke arah dua perempuan di hadapannya.

Wajahnya nampak tak acuh dengan pipi yang gembung sebelah karena sebuah permen batang yang berada di mulutnya.

Om-om itu mencurigakan, batin Aurora.

"Emm, kalian—"

Belum sempat si lelaki usai bersuara, lidahnya sudah kelu duluan. Tanpa peringatan, kedua perempuan di hadapannya tiba-tiba saja menodongkan senjata. Spontan tangannya terangkat dan mulutnya menganga. Saking kagetnya, permen di mulutnya hampir terjatuh.

"Lo siapa? Mau apa lo?"

"Kau yang membawaku ke sini?! Apa maksudnya ini?!"

"Nama gue Dirga. Gue—" ucapannya terhenti begitu menyadari sesuatu yang janggal, "Tunggu, apa? Siapa yang membawa siapa?"

"Jawab! Ini ulah lo, 'kan?! Lo yang bikin jadi begini. Ini di mana? Mana Anya?" sentak Aurora kesal. Matanya memandangi takut-takut sekitarnya. Lingkungan yang amat aneh.

"Lah, mana gue tahu, Dek. Gue juga baru dateng. Ini baru mau nanya." Dirga mengelak, dengan wajah masam ia lantas berujar, "Lagian, kenapa Mbak pada nuduh gue? Emangnya muka gue kayak penjahat?"

Aurora memperhatikannya dari atas sampai bawah. Wajah dingin yang tak banyak ekspresi, bersetelan biasa, tanpa senjata api, senjata tajam ataupun tumpul. Aurora lantas menggeleng. Moncong pistolnya ia turunkan.

Ini mah mirip om-om nganggur yang suka nangkring di gang deket rumah gue.

"Jadi bukan ulahmu?" si wanita bersenjata bertanya skeptis. Tampaknya masih sangat mencurigai Dirga.

"Bukan gue, Mbak, sumpah."

"Mbak, Mbak, seenaknya. Aku ini masih muda!" ketusnya tak suka dengan panggilan Dirga padanya. Namun, ia tetap menarik ujung senjata laras panjang dari hadapan Dirga, membuat lelaki itu menghela napas lega.

"Gue Dirga," ungkapnya sekali lagi. "Gue tebak kalian mengalami hal yang sama kayak gue. Aliran waktu melambat dan berhenti, alam semesta seakan retak, kemudian muncul asap merah dan pada akhirnya kalian berakhir di sini. Iya, 'kan?"

"Aku Tara," sahut si wanita. Masih memegang senapan laras panjangnya. Gestur tubuhnya senantiasa berhati-hati. Meski sudah tak sewaspada tadi.

"Aurora," ungkap Aurora, turut memperkenalkan diri. "Apa yang sebenarnya terjadi?" tanyanya. Kepalanya menengadah. Mengamati bintang biru yang benderang di atas sana. Merepih sedikit gulita hutan yang membawa kesan suram.

Hysteria : Escape From Another WorldTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang