[Phase 4-2] Seribu Patung

97 32 1
                                    

Kendati bau besinya sudah tak begitu menyengat, Tara tau benar guratan-guratan merah tua yang membentang megah membentuk lukisan raksasa di dinding itu adalah darah. Pekat warnanya mengatakan bahannya, gambar yang diciptakannya menceritakan asal muasalnya. Pastilah ada peperangan besar yang pernah terjadi di sini dulu kala. Di mana darah yang tumpah ditorehkan untuk melukis sejarah.

“Kalau di dunia kita, ini mungkin seperti lukisan gua yang dibuat manusia purba. Hanya saja ... mereka mengganti arang dengan darah.” Tara mengerjap melihat apa yang ada dihadapannya. Lukisan itu berisi banyak gambar-gambar kecil berbentuk rumah-rumah dari batu, api unggun, sekumpulan orang, kapal laut, tiga buah pedang, batu bersinar, serta masih banyak lagi. Setiap gambar saling berhubungan seperti membentuk sebuah kisah.

“Ini gambaran apa yang Folrina bilang nggak, sih? Perang di masa lalu, tiga pedang, menara, semuanya ada di sini.” Dirga menunjuk gambar-gambar itu, meneranginya dengan obor di tangannya.

“Lalu ini.” Tara menunjuk salah satu gambar berbentuk persegi panjang yang berada di tengah. “Gambar apa ini?”

Dirga menyoroti gambar itu dengan obornya. Itu adalah sebuah gambar persegi panjang dengan ukiran rumit di dalam sebuah lingkaran. Tak jauh dari tempat Dirga dan Tara berdiri, terpisah satu lantai, gambar itu juga hadir di antara Luke dan Aurora. Bukan sebagai gambar, melainkan sebagai peti mati yang duduk agung di ruangan berbentuk lingkaran.
Aurora menganga lebar-lebar tatkala matanya mengintip isi dari peti mati itu. Melihat sebentuk mayat utuh yang terbaring di dalamnya, hampir saja rahangnya jatuh ke tanah saking terkejutnya.

“Heh! Mau ngapain?” jeritnya panik. Pasalnya, Luke si bocah pirang itu tiba-tiba saja menggeser penutup peti hingga terbuka lebar.

“Kau tak merasa kita perlu mencari sesuatu di dalamnya, heh?”

“Men—what?! Luke, itu mayat! Please deh ah! Tutup lagi nggak!”

“Sebentar dulu, Aurora. Siapa tahu ada batu jimat ajaib seperti yang ada di lehermu itu, heh.” Luke tetap membuka petinya hingga terbuka sempurna.

Aurora menyentuh batu kristal dengan pendar biru di lehernya. Dalam hati membenarkan perkataan Luke. Mereka berdua pun mendekati peti itu. Untungnya, tidak ada bau menyengat selain aroma apak debu yang menguar dari mana-mana. Di dalam peti, terbaring mayat seorang kakek-kakek dengan jubah hitam. Di atas tubuhnya yang kaku, tangannya menggenggam sebuah pedang—yang dengan luar biasanya, masih tetap mengilap tanpa satu goresan pun.
Kepala keduanya menengadah ke dalam peti mati. “Kau lihat ada batu jimat, tidak?”

Aurora menggeleng, kemudian menarik kepalanya. “Apaan sih, ah! Nggak ada batu-batuan juga. Udah tutup lagi, Luke!”

“Sebentar.” Luke bersikeras. “Coba kau dekatkan dan putar-putar batu jimatmu di atas tubuhnya. Siapa tahu keluar sendiri jika dipapari energi dari batu jimat yang punyamu.”

“Lo ngomong seakan-akan gue ini dukun, ya. Emangnya gue Bang Dirga, apa!” gerutu gadis itu. Namun tetap melakukan apa yang Luke pinta.

Aurora melepaskan kalungnya dan memutarinya di atas mumi si kakek tua. Satu putaran, dua putaran, tidak ada yang terjadi. Ketika hendak melakukan putaran ketiga, dirinya baru menyadari bahwa ia melakukan apa yang persis dukun lakukan.

“Pfft.” Dan nampaknya, Luke sadar akan hal itu.

“LUKE!” seru Aurora geram.

“Kau memang mirip dukun, heh,” seloroh Luke.

Kepalang kesal dan tak merasa cukup dengan hanya meneriakinya, tangan gadis itu melayang hendak menoyor kepala Luke. Luke yang berkilah membuat Aurora terpeleset dari pijakannya sendiri. Tubuhnya terdorong hendak terjatuh ke belakang, tangan gadis itu pun spontan meraih apa pun yang bisa jadi pegangan. Sayangnya, apa yang ia raih bukan barang yang tepat. Manakala pedang yang Aurora cengkeram bergeser sedikit, muncul sinar kehijauan dari dalam peti. Kristal keramat itu ada di sana, bertengger di atas bagian genggaman pedang, tersembunyi di bawah tangan sang mumi.

Hysteria : Escape From Another WorldWo Geschichten leben. Entdecke jetzt