[Phase 1-5] Kantung Daun

241 64 21
                                    

Pada dasarnya penduduk Kota Solaris terbilang normal, begitulah yang dipikirkan oleh Luke. Tentu saja, lihatlah betapa menakjubkannya ras Dragonoid yang berubah menjadi naga di balik kesibukan pasar.

Beberapa di antaranya terbang tinggi hingga ada juga yang menabrak dinding karena terlalu antusias. Kaum Demon hanya terdiam sembari menjual pernak-pernik lucu-sekumpulan barang yang rumornya ajaib serta terbuat dari tulang belulang binatang purba dan anehnya ras manusia juga membeli barang itu dengan menawarkan satu dosa.

Jangan lupakan kaum Beast, rata-rata mereka bekerja di tempat hiburan. Atraksi sirkus juga ada di sini, pesulap menunjukkan aksi konyol dengan menyembunyikan satu ekor gajah ke dalam topinya. Sementara penyihir, mereka bertugas sebagai penyembuh dan meramalkan masa depan. Beberapa dari mereka membuka toko kelontongan dengan papan nama terbalik. Sungguh penduduk yang normal.

Malam nan dingin menyambut Negeri Hysteria. Bintang biru membiaskan warna tak biasa pada megahnya cakrawala. Sedikit temaram, tetapi mampu meneduhkan jiwa. Hembusan angin diikuti sayup-sayup keramaian Kota Solaris, membuat Luke tertarik untuk memandangnya lebih lama sembari menggigit apel.

Hanya menyandarkan tubuh pada dinding dan kaki yang sengaja diselonjorkan, ia cukup santai menikmati hidup padahal rekan-rekan sepetualangannya tengah berdebat mempermasalahkan hal yang sudah terjadi. Ya, saat ini bocah pesulap itu berada di atas tempat tidur yang terbuat dari kantong daun berukuran raksasa. Sedikit unik, tempat tidur ini didesain bertingkat dengan sulur-sulur akar sebagai penyangga.

Mereka berempat tidur sekamar karena tempat penginapan murah ini hanya menyediakan satu ruang berukuran luas dan empat tempat tidur daun. Beruntung Diomira pandai menawar, hanya dengan merogoh kocek 15 Hisen dalam mata uang Hysteria atau jika dirupiahkan sekitar 15 ribu maka mereka bisa menginap satu malam.

"Berhenti mencegahku, Bodoh! Aku tidak sudi tinggal lebih lama di negeri aneh ini! Seseorang mencoba menaruh racun di makananku? Kalian pikir negeri ini waras?" Tara membentak, emosinya bergejolak. Sedikit terburu-buru, ia hendak melangkahkan kaki ke arah pintu keluar, tetapi dicegah oleh Dirga.

"Lu tenang dulu dah. Semua masalah bisa diselesain kalau kita berpikir dengan kepala dingin. Gua tahu, kita semua dateng ke sini juga tanpa sebab-"

Tara tertawa sinis lalu menepis tangan Dirga. "Tenang-tenang saja yang ada dipikiranmu! Kau kira ini lelucon? Kalau kita mati, kamu mau bertanggung jawab?"

"Lah, napa jadi gua?" balas Dirga tidak terima lalu kembali menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri. "Begini, lu pada dan gua terjebak di dunia aneh ini karena sihir pemanggil dan kita semua ga akan bisa pulang sekarang."

"Terus? Harus nunggu ajal di sini begitu?" Tara membalas dengan oktaf tinggi. Ia sudah tidak peduli dengan sikap tenangnya, yang tengah dipikirkannya saat ini hanyalah segera pergi dari Hysteria bagaimanapun caranya.

Ketika Tara dan Dirga sibuk saling beradu argumen, Aurora hanya terdiam memandang kosong ke arah pintu keluar. Sedikit syok ketika kejadian satu jam yang lalu di mana Tara menendang meja beserta segala macam makanannya ke lantai karena racun. Untung saja Aurora belum sempat mencicipi, jika tidak mungkin saja riwayatnya akan tamat sekarang.

"Denger, Mbak. Tenang, semua pasti bisa dikendalikan. Lu nggak kasihan apa, Diomira udah rela nyumbangin matanya buat bawa kita ke tempat ini? Kita ditakdirkan untuk menyelamatkan Hysteria dari kehancuran. Tolong dewasalah sedikit, cobalah untuk mikir ke arah yang lebih luas." Dirga berusaha menenangkan Tara.

"Menyelamatkan Hysteria?" Tara mengulang ucapan Dirga dengan kekehan sinis. "Sungguh lucu. Kita saja tidak bisa menjaga diri sendiri dan kau! Arghh ... mentang-mentang karena pengorbanan si Diomira yang cantik itu, kau mencegahku untuk mendekatkan diri pada ajal? Semua pria sama saja! Sama-sama Bangsat!"

Hysteria : Escape From Another WorldWhere stories live. Discover now