21. Tidak Ada Celah.

2.3K 387 7
                                    

Beruntung, setelah kejadian mengagetkan kemarin sore, Rian tidak banyak tanya soal Hera. Dia hanya berjalan mendekati Haidar dan menanyakan satu hal, tentang lebam di wajah Hera. Orang yang ditanyai langsung menjelaskan apa yang terjadi, sesuai dengan informasi yang didapat dari Farel. Setelah Haidar selesai bercerita, Rian langsung pamit pulang. Ekspresi pemuda itu nampak menyendu juga kecewa.

Bayang mimik wajah juga binar mata Rian menghantui malam Haidar. Anak terakhir dari tiga bersaudar itu tidak bisa tidur sebab hatinya sedih. Sang pujaan hati jelas belum melupakan masa lalunya. Wajar, karena perpisahan mereka berlangsung belum lama ini. Itu membuat nyali Haidar semakin ciut, seolah dia tidak punya celah untuk mendekati Rian. Setidaknya dalam waktu dekat ini.

Tak.

Satu kotak bekal diletakkan di depan wajah Haidar, karena posisinya sedang merebahkan kepala di atas meja kelas. Si gemini mengangkat wajah, menatap Farel yang pagi ini masih terlihat menyebalkan.

Farel meletakkan kotak bekal lain di mejanya lalu melepaskan tas dari pundak. Dia menghela nafas panjang sembari mendudukkan diri.

Haidar berputar untuk menghadapkan badannya ke arah Farel. "Gimana kemarin? Kak Hera aman sampai rumah?"

"Hoho, aman dong." Pemuda yang ditanyai menepuk dada, bangga dengan diri sendiri. "Kan Farel yang ngantar pulang." Senyum tercetak lebar di wajah yang berbicara, "awalnya mereka kaget, terus papanya mau marah tapi mamanya langsung nenangin. Ya udah, gue disuruh pulang. Pas udah sampai rumah, gue chat Kak Hera, katanya kondisi dia aman."

"Syukurlah kalau gitu. Berarti orang tuanya percaya banget sama lo ya?"

"Iya, dulu gue sama Mama Kak Hera sering masak bareng. Terus karena Papa gue suka burung, samaan dengan Papa Kak Hera jadi gue sering ngobrolin tentang burung juga sama si Bapak."

"Oohhh, ga heran sih." Haidar kembali memutar tubuhnya ke depan, lalu mengeluarkan ponsel dari saku celana. "Terus sekarang, perasaan lo ke Kak Hera gimana? Masih suka?"

"Enggalah, yakali." Satu tepukan mendarat di pundak si penanya. "Gue pacaran sama dia waktu masih bodoh, mau aja dibohong-bohongin."

"Berarti," Haidar menoleh pada lawan bicaranya, "Bang Rian bodoh?"

"Y-ya, ga gitu juga."

Farel hendak menjelaskan lebih lanjut maksud dari ucapannya, namun kedatangan Hanan lebih dulu menarik perhatian mereka berdua. Pemuda mirip tupai itu segera mendekati kursi Haidar dan memeluknya.

"Kangen."

Haidar tersenyum sambil menepuk-nepuk pelan punggung Hanan. "Tapi kan semalam kita makan bareng."

Pelukan terlepas, menampilkan wajah cengengesan Hanan. "Ya kangen ketemu di sekolah, bukan di rumah."

"Yaelah, padahal sama gue juga ga ketemu, tapi ga dikangenin."

Hanan beranjak ke kursinya terlebih dahulu, meletakkan tas lalu menjawab kalimat Farel, "gue kangen masakan lo, sih."

"Itu harus. Soalnya masakan gue ga ada tandingan." Farel membuka kotak bekalnya, lalu menyodorkan ke arah Hanan. Makanan itu langsung diterima, lalu dimakan beberapa sendok sebelum kembali ke tangan Farel.

"Lah, kok dikit? Lo diet ya?" Farel berkomentar setelah mengamati tempat yang disendoki Hanan.

Pemuda yang ditanya menggeleng, "gue tadi sarapan karena ga tau kalau lo bakal sekolah."

Seperti hari-hari sebelumnya, jam istirahat pertama mereka akan membeli bakso Mang Oci

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Seperti hari-hari sebelumnya, jam istirahat pertama mereka akan membeli bakso Mang Oci. Mau seramai dan selama apapun, mereka akan tetap sabar menunggu demi merasakan bakso yang akan mereka rindukan jika sudah tamat.

Mara datang setelah isi mangkuk ketiga anak itu sisa seperempat, bahkan Farel sedang sibuk memotong-motong pentol yang berukuran besar.

"Eh, Bang Mara." Si blasteran menyapa sambil terus memotongi pentolnya, sedangkan teman yang lain mengunyah makanan. "Ngapain Bang? Mau brownies lagi?"

Mara tertawa mendengar pertanyaan yang dilontarkan adik kelasnya. "Engga."

"Oohh, kirain. Anak OSIS banyak yang mesen brownies sehabis lo promosiin. Rada kewalahan ngebuatnya, tapi untungnya kembaran gue mau bantu."

"Lah, punya kembaran? Siapa?" Mara bertanya sambil mendudukkan diri di sebelah Farel.

"Ada, namanya Cinta, jurusan IPA." Farel menyuapkan potongan pentol ke dalam mulutnya. Pemuda yang mendapati jawaban mengangguk.

Wajar saja Farel tidak pernah terlihat bersama kembarannya. Gedung kelas jurusan IPA terletak cukup jauh dari kelas IPS. Mara beralih melihat Haidar, sepertinya anak itu sudah selesai makan.

"Terus Haidar, pacar lo apa kabar?"

Hanan yang berada di sebelah Haidar tersedak. Dia mengambil botol mineral yang ada di sebelahnya lalu meneguk sebagian.

"Hah, kapan Haidar punya pacar?" Farel mengerutkan dahi sambil melihat temannya yang malah tertawa.

"Itu bukan pacar gue, Bang." Penjelasan dimulai setelah Haidar menaruh mangkuk bakso yang sudah kosong di sebelah tubuhnya. "Itu Bang Jordan, orangnya memang sering jahil."

"Oohhh, yang waktu itu! Kemarin gue juga ketipu. Gue kira Haidar beneran udah punya pacar." Farel menimpali. Didapatinya Mara mengangguk paham.

Dari asiknya perbincangan empat orang disana. Ada sepasang mata yang sejak tadi memperhatikan. Rian masih penasaran tentang Hera kemarin, walaupun Haidar sudah menjelaskan kenapa Hera bisa bermalam di kost-annya. Rian penasaran sedekat apa Farel dengan Hera.

Jeri yang menyadari arah pandang temannya berdehem, "bener kan? Mereka selalu ada dimana kita ada."

Rian melirik Jeri, lalu menggeleng pertanda tidak setuju dengan kalimat jeri barusan. "Gue ga mikirin itu."

To be continued

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

To be continued.

Hai, maaf ya aku update tengah malam. Semoga kalian tidur nyenyak, biar paginya bisa semangat.

BANG RIAN [renhyuck]Where stories live. Discover now