Rumah Tangga

80 1 0
                                    

Hari-hari berjalan normal. Zahra dan Zaki tinggal di rumah kontrakan Zahra. Kehidupan mereka berjalan sebagaimana mestinya. Saat Zahra letih memasak dan mencuci, Zaki dengan penuh pengertian membantunya membersihkan rumah.

Malam itu, saat Zahra menjemur pakaian di belakang rumah, Zaki dengan setia ikut menemani.

"Ki, gimana ya wajah kamu kalo lagi suntuk? Kok aku lihat kamu tuh biasa aja semua ekspresi wajahnya, datar" Zahra tertawa renyah.

"Ya aku pernah lah suntuk Ra."

"Kapan?"

"Dulu, saat udah selesai sekolah tapi gak ada uang mau lanjut kuliah."

"oh.."

"Oiya Ra, kamu udah lihat sendiri kan, keluarga aku itu orang susah. Dari kecil aku dibesarkan dengan jerih payah ibu, aku sangat menyayangi ibuku. Bapakku meninggal waktu aku masih bayi. Aku gak tau caranya menyayangi. Kamu bisa bersabar kan?"

Zahra terhenti dari pekerjaannya. Ia berpikir, untuk masalah kekurangan keluarga Zaki, Zahra tak merasa keberatan menerima apa adanya, ia juga dibesarkan dengan penuh ketidak mampuan, keluarganya juga dulu hidup miskin, ia sudah terbiasa. Untuk perkataan Zaki yang sangat menyayangi ibunya, Zahra merasa bisa menyayangi ibu Zaki seperti ibunya sendiri, selama ini pun ia hidup di kota dengan modal banyak menebar kasih sayang pada orang lain hingga orang-orang berbalik menyayanginya. Dulu, Zahra pernah tinggal bersama ibu angkatnya. Ia dan ibu angkatnya itu saling menyayangi, ia bisa menganggap orang lain seperti ibunya sendiri, begitu juga dengan ibu Zaki, sudah ia anggap ibu kandungnya. Namun, yang mengganjal di hati Zahra adalah kalimat Zaki yang ketiga, Zaki tak tau cara berkasih sayang.

Seminggu usia pernikahan mereka, tak sekalipun Zaki pernah berkasih sayang dengan Zahra. Zaki selalu pergi keluar rumah disiang hari, dan pulang saat Zahra hampir terlelap atau terkadang Zaki di rumah tapi sibuk bermain game.

Zahra tetap tersenyum, seakan menjadi pengantin paling bahagia. Setiap hari ia sediakan makanan, urus pakaian Zaki, dan tak lupa selalu bersikap manja pada Zaki, meski hanya dibalas dengan wajah datar tanpa ekspresi dari Zaki.

Zahra merasa, Zaki hanya pemalu dan kaku, butuh waktu untuknya bisa mencairkan suana. Meski begitu, terkadang merayap pertanyaan di benak Zahra. "Bukankah Zaki mencintaiku? Atau sebenarnya dia tak mencintaiku?"

Setiap malam saat Zaki belum pulang, Zahra selalu melamun di teras rumah, memandang bunga mawar tanamannya. Makanan yang ia sediakan sejak sore belum disentuh hingga dingin di dalam tudung saji, menunggu Zaki pulang hingga ia tertidur dalam rasa lapar, untuk kemudian terbangun ketika Zaki mengetuk pintu di jam 2 pagi.

"Kamu dari mana jam segini?". Zahra menghangatkan air dan memberi Zaki air putih atau susu hangat. Zaki hanya diam.

"Sini aku pijitin, tuh kamu masuk angin, kena angin malam." Zahra memijit Zaki hingga Zaki tertidur.

Zahra tak ingin mengeluh, mungkin beginilah rasanya pernikahan, batinnya. Jauh di lubuk hatinya, Zahra menerima Zaki apa adanya, seperti apapun sikapnya.

Meski Zahra merasa sudah tidak tahan dengan sikap Zaki, masih ada hal baik yang ia ingat. Zaki menyayanginya, mereka hidup dalam suka duka. Seperti kemarin malam saat Zaki pulang larut malam, ia membawa sabun, beras, telur dan sekaleng susu dari rumah ibunya.

"Ki, uang belanja kita habis"

"Yaudah besok kita puasa aja yuk. Ini telur dan berasnya untuk sahur aja dan buka puasa kamu besok. Maafin aku ya, kita emang lagi gak punya uang karena aku harus bayar hutang."

"Iya gak apa kok sayang." Zahra tersenyum memeluk dan mencium Zaki. Namun Zaki tetap saja diam tanpa ekspresi.

Sepatu Pengantin ZahraWhere stories live. Discover now